Banjir dan Longsor Sumatera 2025: Kegagalan Sistem yang Terus Berulang
Selama ini, persoalan banjir di Indonesia kerap kali hanya dilihat dari sudut pandang sederhana: “kelebihan air”. Setiap musim penghujan tiba, pemandangan yang sama kembali terulang: permukiman terendam, jalan utama terputus, dan ribuan warga terpaksa mengungsi. Bencana banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025 hanyalah babak terbaru, sekaligus salah satu yang paling parah, dari kisah tragis yang terus berulang ini.
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga awal Desember, peristiwa tersebut telah merenggut ratusan nyawa, meninggalkan ratusan orang hilang, serta menyebabkan luka-luka pada ratusan lainnya. Dampaknya meluas ke jutaan masyarakat, dengan lebih dari satu juta orang harus meninggalkan rumah mereka. Di balik angka-angka statistik ini, terdapat kisah nyata tentang kampung-kampung yang tersapu arus banjir dan lumpur, hari-hari yang diwarnai hujan tak kunjung reda, serta malam-malam yang dipenuhi ketakutan dan ketidakpastian.
Bertahun-tahun telah berlalu; teknologi terus berkembang, anggaran infrastruktur meningkat tajam, dan istilah-istilah seperti “normalisasi” serta “pengendalian banjir” kian sering digaungkan. Namun, setiap musim hujan, berita tentang banjir kembali memenuhi layar ponsel dan siaran televisi. Seolah-olah kita terjebak dalam lingkaran setan, sementara sejarah terus berulang di wilayah yang berbeda-beda. Hari ini di Aceh, besok di Sumatera Utara, dan waktu lainnya di Sumatera Barat, kemudian beralih ke provinsi lainnya. Tragedi-tragedi ini memang dipicu oleh curah hujan ekstrem yang diperparah oleh sistem tropis di Samudra Hindia, yang menyebabkan sungai meluap dan lereng-lereng tanah yang labil runtuh. Akan tetapi, berhenti pada penjelasan ini berarti mengabaikan kisah yang jauh lebih dalam.
Di berbagai wilayah Indonesia, banjir telah menjadi bagian dari ingatan kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ingatan ini adalah tentang air yang memaksa masuk ke dalam rumah, aktivitas sehari-hari yang lumpuh total, serta hari-hari panjang yang dihabiskan di tempat pengungsian yang penuh sesak. Namun, banjir-banjir ini bukanlah murni “kemurkaan alam”; ia juga merupakan konsekuensi dari rangkaian panjang keputusan tentang bagaimana kita mengelola lahan, hutan, dan daerah aliran sungai (DAS), terutama di Pulau Sumatera.
Merawat ingatan kolektif tentang bencana banjir seharusnya tidak berhenti pada sebatas catatan tentang ketinggian air atau seberapa kokohnya tanggul yang dibangun. Ingatan tersebut harus mendorong kita untuk mengajukan pertanyaan mendasar: mengapa pola yang sama terus-menerus berulang? Apa yang tidak berubah di balik berbagai proyek fisik dan program penanganan darurat? Pada titik inilah kita perlu berani melihat banjir bukan hanya sebagai persoalan hidrologi, tetapi juga sebagai cermin yang memantulkan kegagalan tata kelola kelembagaan.
Melalui perspektif ekonomi kelembagaan, seperti yang dikembangkan oleh Daniel W. Bromley, banjir dapat dibaca sebagai bencana yang diproduksi oleh “aturan main”. Institusi, dalam bentuk undang-undang, perizinan, norma sosial, dan struktur hak kepemilikan, bukanlah latar belakang yang netral. Ia adalah aktor utama yang menentukan siapa yang boleh melakukan apa, di mana, dan dengan konsekuensi apa. Ketika institusi itu cacat atau rapuh, ia menciptakan insentif yang menyimpang: keuntungan jangka pendek bagi segelintir pihak, namun dibayar dengan kerentanan jangka panjang bagi banyak orang.
Bayangkan sebuah daerah aliran sungai yang membentang dari hulu hingga hilir. Di bagian hulu, izin resmi dikeluarkan untuk penebangan hutan, pembukaan tambang, atau konversi sistem agroforestri yang beragam menjadi monokultur dengan tutupan vegetasi yang buruk. Di bagian tengah, izin lokasi dan bangunan memungkinkan sawah irigasi dan lahan produktif lainnya diubah menjadi kawasan permukiman dan komersial dengan permukaan kedap air. Sementara itu, di bagian hilir, masyarakat hidup dengan hak konstitusional atas lingkungan yang sehat dan rasa aman di rumah mereka. Semua keputusan ini mungkin sah secara hukum, tetapi ketika hujan lebat turun dan air meluap, pihak yang pertama dan paling parah menanggung dampaknya adalah warga hilir yang sama sekali tidak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan perizinan tersebut.
Bencana terbaru di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat adalah ilustrasi pedih dari fenomena ini. Bertahun-tahun degradasi hutan di daerah tangkapan air hulu, ekspansi perkebunan, dan berbagai bentuk konversi lahan lainnya, ditambah lemahnya pengendalian bangunan di sepanjang bantaran sungai, telah mengurangi kemampuan lanskap untuk menyerap dan memperlambat aliran air. Ketika hujan ekstrem turun, air tidak mengenai ekosistem yang sehat dan tangguh, melainkan lereng-lereng yang telah melemah dan permukaan tanah yang telah mengeras. Peristiwa hidrologi yang seharusnya dapat dikelola dengan baik kemudian berubah menjadi rangkaian banjir dan longsor yang dahsyat.
Di sini kita menyaksikan apa yang dapat disebut sebagai benturan hak. Hak untuk menguasai dan mengubah ruang di wilayah hulu dan tengah berbenturan langsung dengan hak warga hilir untuk hidup dengan aman dan nyaman. Hak yang dibungkus dalam bentuk legalitas sering kali, dalam praktiknya, berubah menjadi “lisensi untuk merusak”, karena biaya ekologis dan risiko banjir dapat dialihkan kepada orang-orang yang sama sekali tidak pernah diajak berunding. Dengan demikian, banjir bukan hanya akibat drainase yang buruk atau menyempitnya badan sungai, tetapi juga akibat kegagalan politik dalam merumuskan dan menegakkan hak kepemilikan yang bertanggung jawab.
Sejarah tata kelola ruang di Indonesia juga menunjukkan bahwa aturan-aturan ini tidak lahir di ruang hampa. Dalam banyak kasus, kita dapat melihat jelas dominasi koalisi antara pemilik modal dan birokrasi dalam pengambilan keputusan. Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bisa berubah menjadi sekadar formalitas. Rekomendasi teknis dari para ahli sering kali tersisihkan atas nama percepatan proyek. Rencana tata ruang dapat direvisi untuk mengakomodasi kepentingan tertentu. Penegakan hukum lingkungan sering kali timpang: keras terhadap pelanggaran kecil, tetapi lunak terhadap pelaku pelanggaran berskala besar. Proses-proses ini menciptakan insentif ekonomi yang mendorong konversi kawasan resapan, hilangnya ruang terbuka hijau, dan pembangunan di bantaran sungai. Semuanya ini pada akhirnya meningkatkan risiko banjir di banyak wilayah, termasuk daerah-daerah yang baru saja dilanda banjir di Sumatera.
Pada tahap ini, bencana banjir berubah menjadi drama politik. Begitu air mulai naik dan kamera televisi berdatangan, politisi dan pejabat publik seakan-akan berlomba-lomba menunjukkan betapa pedulinya mereka. Tahun demi tahun, kita menyaksikan adegan yang sama: celana digulung, rompi resmi dikenakan, langkah-langkah berhati-hati menapaki genangan air, paket bantuan dibagikan di tenda-tenda pengungsian, tangan mengusap-usap kepala anak-anak, dan sesi foto bersama warga yang kelelahan. Banjir pun berubah menjadi panggung pencitraan sosial, arena empuk untuk meraih simpati dan menampilkan kesan bahwa negara “hadir” bersama rakyat.
Kontrasnya menjadi jelas ketika pembicaraan bergeser ke urusan pelestarian lingkungan atau pencegahan bencana. Ketika diskusi beralih ke rehabilitasi daerah aliran sungai, pengendalian yang lebih ketat terhadap alih fungsi lahan, penertiban bangunan ilegal di bantaran sungai, atau penegakan hukum terhadap para pelaku perusakan lingkungan, panggung itu tiba-tiba menjadi sepi. Tidak banyak yang ingin tampil di depan kamera untuk menjelaskan mengapa suatu kawasan tidak lagi boleh dibangun, mengapa sebuah proyek besar harus dibatalkan, atau mengapa izin yang sudah terlanjur dikeluarkan perlu ditinjau ulang. Kerja-kerja pencegahan, yang minim sorotan media dan kerap kali menuntut “pengorbanan” kepentingan ekonomi jangka pendek, sulit diterjemahkan menjadi suara pemilih.
Inilah paradoks banjir kita: ketika air sedang tinggi, empati dipertontonkan; namun ketika air surut, ingatan kita tentang akar struktural masalah ini segera memudar. Padahal justru di masa tenanglah kita seharusnya aktif merawat ingatan kolektif tentang banjir, bukan untuk meratapi masa lalu tanpa henti, melainkan untuk menuntut perubahan terhadap aturan-aturan yang ada. Ingatan tentang banjir-banjir besar di berbagai wilayah Indonesia, bersama dengan bencana terbaru di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, seharusnya menjadi landasan moral dan politik untuk bertanya: siapa yang diuntungkan dari pola pembangunan yang perlahan menghapus kawasan resapan? Siapa yang paling sering menjadi korban, dan siapa yang pertama-tama harus dimintai pertanggungjawaban?
Jika kita menerima bahwa banjir adalah bencana kelembagaan, maka jalan keluarnya adalah rekonstruksi kelembagaan. Hak atas sebidang tanah tidak lagi bisa dimaknai sebagai kebebasan melakukan apa saja selama memegang izin. Hak itu harus dipahami sebagai satu paket hak sekaligus kewajiban ekologis. Konversi sawah, kebun campuran, dan ruang terbuka hijau menjadi kawasan terbangun yang padat tidak boleh lagi diperlakukan sebagai pilihan yang mudah, karena setiap keputusan semacam itu memengaruhi kapasitas serapan air di seluruh daerah aliran sungai. Pada saat yang sama, kita memerlukan pengakuan dan penguatan hak-hak yang berpihak pada konservasi, termasuk peran komunitas lokal dan petani yang menjaga tutupan vegetasi dan kualitas lahan.
Rekonstruksi kelembagaan juga menuntut akuntabilitas yang jauh lebih kuat. Prinsip “polluter pays” harus dihidupkan kembali bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai mekanisme konkret yang menghubungkan tindakan merusak di suatu kawasan dengan kerugian yang dirasakan di tempat lain. Mereka yang menutup zona resapan atau mengabaikan kewajiban drainase harus menanggung biaya rehabilitasi, alih-alih sekadar melempar persoalan ke anggaran publik. Beban finansial tidak dapat terus-menerus didorong kepada masyarakat hilir yang sudah lelah berulang kali mengungsi.
Peraturan baru, seideal apa pun, tidak akan kokoh jika tidak dianggap adil oleh pihak-pihak yang terdampak. Karena itu, tata kelola risiko banjir perlu dipindahkan dari ruang-ruang rapat tertutup ke proses kolektif yang jauh lebih transparan dan inklusif. Pada skala daerah aliran sungai, forum yang melibatkan warga, petani, tokoh masyarakat, pelaku usaha, akademisi, dan pemerintah dapat menjadi arena bersama untuk merumuskan dan mengawal “aturan main”. Di berbagai daerah di Indonesia, forum semacam ini dapat merangkai ingatan tentang banjir-banjir masa lalu dengan pengetahuan teknis hari ini, sehingga pengalaman pahit di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan wilayah lain tidak sekadar menguap, melainkan berubah menjadi garis merah yang jelas tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di ruang hidup bersama.
Data terbuka adalah prasyarat penting lainnya. Peta perizinan, data hak atas tanah dan air, rencana tata ruang, serta lokasi proyek-proyek besar yang berpotensi mengubah aliran air harus mudah diakses publik. Dengan begitu, warga, jurnalis, peneliti, dan organisasi masyarakat sipil memiliki dasar yang kuat untuk memantau, memberi peringatan, dan bila perlu menggugat keputusan ketika hak mereka atas lingkungan yang aman terancam.
Pada akhirnya, merawat ingatan kolektif tentang bencana banjir berarti menolak melupakan akar persoalan setelah air surut. Itu berarti menghubungkan cerita banjir besar di masa lalu dengan banjir hari ini, dari Aceh ke Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan seterusnya, bukan sekadar sebagai rangkaian kemalangan, tetapi sebagai bukti bahwa ada sesuatu yang secara fundamental keliru dalam cara kita menata ruang dan membagi risiko. Selama “aturan main”-nya tetap sama, setiap musim hujan akan mengundang episode baru dari drama lama: warga hilir tergenang, politisi memerankan empati di depan kamera, dan rencana pencegahan kembali ditunda.
Merawat ingatan kolektif mengandung makna yang menegaskan bahwa banjir bukanlah takdir yang harus diterima begitu saja, melainkan alarm politik yang menuntut tindakan. Jika kita sungguh-sungguh belajar dari masa lalu, maka tugas generasi hari ini adalah memastikan bahwa setiap tetes hujan tidak otomatis menjadi ancaman, tetapi kembali menjadi berkah. Untuk itu, yang perlu kita surutkan bukan hanya air di jalanan, melainkan juga ego sektoral, kerakusan jangka pendek, dan keberanian kita untuk menantang struktur aturan yang membuat bencana menjadi berulang. Ingatan atas banjir adalah ingatan atas hak untuk hidup aman, hak yang seharusnya tak pernah dikalahkan oleh logika kapital yang buta terhadap korban di hilir.
Data Riset Terbaru: Mengukur Jejak Banjir di Sumatera 2025
Sebuah penelitian kolaboratif oleh Institut Teknologi Sumatera (ITERA) dan Universitas Syiah Kuala (2025) mengungkap jejak digital banjir melalui analisis citra satelit resolusi tinggi. Studi ini menganalisis perubahan penggunaan lahan di DAS Alas (Aceh Tengah), DAS Batang Toru (Sumatera Utara), dan DAS Batang Tarusan (Sumatera Barat) dari 2000 hingga 2025. Hasilnya mencengangkan: tutupan hutan primer di DAS Alas berkurang 38%, sementara area perkebunan sawit melonjak 62%. Di DAS Batang Toru, konversi hutan menjadi perkebunan karet dan pertambangan pasir mengurangi kapasitas resapan tanah hingga 45%. Sementara itu, DAS Batang Tarusan mengalami penyempitan badan sungai hingga 30% akibat pemukiman ilegal dan penambangan liar. Studi ini memperkuat temuan bahwa banjir bukan semata bencana alam, tetapi juga bencana sosial yang tercetak dalam peta penggunaan lahan.
Analisis Unik dan Simplifikasi: Banjir Bukan “Air yang Salah”, Tapi “Aturan yang Salah”
Mari sederhanakan logika ini. Bayangkan sistem DAS seperti sebuah ember berlubang yang saling terhubung. Ember atas (hulu) seharusnya menampung air dan mengalirkannya perlahan ke ember bawah (hilir). Namun, jika ember atas ditutup rapat (hutan ditebang, tanah dikonversi menjadi permukaan keras), air tidak bisa diserap dan langsung mengalir deras ke ember bawah. Ember bawah yang tidak dirancang untuk menampung volume besar pun tumpah. Nah, selama ini kita terlalu sibuk menyalahkan “terlalu banyak air” dan memperbesar ember bawah (normalisasi sungai), tetapi jarang memperbaiki tutupan ember atas (konservasi hulu). Inilah yang disebut sebagai “aturan main” yang keliru: kita mengizinkan penutupan ember atas, lalu menyalahkan air ketika ember bawah tumpah.
Studi Kasus: DAS Batang Toru, Sumatera Utara
Desa Sihaporas di Tapanuli Tengah menjadi salah satu wilayah paling terdampak banjir bandang November 2025. Data desa menunjukkan bahwa 70% lahan hutan lindung di wilayah hulu DAS Batang Toru telah dikonversi menjadi kebun karet dan tambang pasir sejak 2010. Seorang petani setempat, Bapak Parulian (52), mengungkapkan bahwa dulu saat musim hujan, air mengalir perlahan dari pegunungan. Kini, hanya dalam hitungan jam setelah hujan deras, air sudah mencapai desa dengan kekuatan dahsyat. Studi kasus ini menjadi cermin mikro dari masalah struktural yang terjadi di banyak DAS di Sumatera.
Infografis: Rantai Penyebab Banjir (Dari Hulu ke Hilir)
[Bayangkan sebuah diagram vertikal yang menggambarkan aliran masalah]
-
Hulu:
- Ikon hutan berubah menjadi kebun sawit/karet
- Ikon alat berat (tambang)
- Teks: “Penebangan hutan + Konversi lahan + Tambang = Tanah kehilangan daya serap”
-
Tengah:
- Ikon sawah berubah menjadi gedung/rumah
- Ikon beton
- Teks: “Alih fungsi sawah + Permukaan kedap air = Air tidak bisa meresap”
-
Hilir:
- Ikon sungai menyempit
- Ikon rumah di bantaran sungai
- Teks: “Penyempitan sungai + Pemukiman bantaran = Air meluap ke permukiman”
- Panah besar dari atas ke bawah: “Hujan Ekstrem”
- Gambar besar di bawah: “Banjir dan Longsor (Dampak)”
Kita tidak bisa menghentikan hujan, tapi kita bisa memperbaiki sistem yang membuat hujan menjadi bencana. Ingatan kolektif tentang banjir harus menjadi kompas untuk mengubah aturan main, bukan sekadar menjadi catatan sejarah yang menyakitkan. Saatnya beralih dari menyalahkan air kepada memperbaiki tata kelola ruang. Lindungi hulu, jaga tengah, tertibkan hilir. Keselamatan kita semua bergantung pada keberanian untuk mengubah permainan ini, sebelum musim hujan berikutnya kembali mengingatkan kita akan harga dari kelalaian.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.