Pemuda di Bali Dituntut 12 Tahun Penjara Atas Tindak Kekerasan Sexual Terhadap Pasangan di Bawah Umur

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Di Denpasar, seorang tersangka kasus persetubuhan, yang bernama AD (20), dihadapkan dengan tuntutan hukuman 12 tahun penjara beserta denda sebesar Rp 50 juta oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu Delia Asyusyara. Tuntutan ini disampaikan setelah dia diduga melakukan persetubuhan terhadap pacarnya yang masih minor. Putu Delia, JPU Kejari Denpasar, mengemukakan bahwa terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana dengan membujuk rekan seumur dengannya untuk melakukan persetubuhan, baik dengan dirinya maupun dengan pihak lain.

AD, yang berasal dari Banyuwangi, Jawa Timur, melakukan pelanggaran tersebut pada bulan Februari dan Maret 2025. Selain hukuman penjara, terdakwa juga diwajibkan membayar denda. Jika AD tidak melunasi denda tersebut, hukuman penjara akan bertambah delapan bulan.

Tindakan AD dilaporkan melanggar Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016, yang merupakan peraturan pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kejadian ini terjadi di sebuah kamar kos di wilayah Denpasar Timur, di mana korban, yang diberi inisial NPI, masih berusia 15 tahun.

Setelah sebelumnya diketahui bahwa penuntutan tersebut dikemukakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Putu Delia Asyusyara, terdapat analisis menarik bahwa kasus persetubuhan melibatkan korban di bawah umur seringkali tertutup dengan hukuman yang ringan. Hal ini karena di beberapa daerah, pemahaman hukum tentang perlindungan anak masih terbatas. Studi kasus lain menunjukkan bahwa korban sering merasa takut untuk melaporkan atau mengungkapkan kasus ini, akibat stigmate sosial yang terus berlanjut.

Dari sisi hukum, pasal yang relevan dalam kasus ini, khususnya Pasal 81 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2016, mempertegas hukuman yang lebih berat bagi pelaku persetubuhan terhadap anak. Namun, aplikasi hukum ini seringkali menghadapi tantangan praktis, seperti bukti yang sulit diperoleh atau kesulitan dalam membuktikan niat pelaku.

Untuk memastikan perlindungan anak lebih kuat, pihak berwenang perlu meningkatkan pengawasan dan edukasi masyarakat tentang hukum yang berlaku. Selain itu, dukungan psikologis dan hukum bagi korban juga perlu diperkuat agar mereka berani menghadapi proses hukum. Kasus ini menjadi pelajaran bagi masyarakat untuk lebih sadar akan tanggung jawab dalam melindungi anak dari kegiatan yang merugikan.

Perkara ini menegaskan kembali bahwa pelaku persetubuhan terhadap minor perlu dikenakan sanksi yang tegas, bukan hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga menunjukkan komitmen serius dalam melindungi anak dari tindakan kejahatan seperti ini.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan