Rencanakan Impor Kakao di Tengah Penurunan Produksi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Indonesia once stood as one of the world’s leading cocoa producers, yet its ranking has steadily declined over time. Currently, the country holds the seventh position globally in cocoa production. The Ministry of Coordinating for Economic Affairs revealed that Indonesia’s cocoa production has dropped to just 200,000 tons annually, a significant decrease from its previous peak of 590,000 tons. Consequently, Indonesia has transitioned into a net importer of cocoa beans to fulfill domestic industrial demands. In 2024 alone, the country imported 157,000 tons of cocoa beans, according to Deputy Coordinator for Food and Agriculture Affairs at the Ministry of Coordinating for Economic Affairs, Widiastuti, during the commemoration of Indonesia Cocoa Day at the Pullman Hotel in Central Jakarta on Thursday (23/10/2025).

This decline in production has also led to a drop in Indonesia’s standing as a top cocoa producer, having previously ranked fourth globally. “This situation is concerning, especially since Indonesia is now the seventh-largest cocoa producer worldwide. We must restore the glory of Indonesian cocoa and prepare to face the challenges in its development,” Widiastuti concluded.

On another note, the government has included cocoa beans as a commodity subject to export duties, as stipulated in Minister of Finance Regulation (PMK) No. 69 of 2025 regarding Public Service Agency (BLU) Tariffs for the Plantation Fund Management Agency (BPDP) under the Ministry of Finance. This regulation, effective seven days after its announcement on October 15, 2025, aims to boost plantation productivity and add value to downstream products. The rationale behind the rule states that enhancing the productivity of plantation products and adding value to farmers’ output requires the imposition of additional plantation fund levies on cocoa bean exports through the regulation of service tariffs for goods or services provided by BLU BPDP under the Ministry of Finance.

Studi kasus menunjukkan bahwa penurunan produksi kakao di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh masalah pengelolaan lahan, perubahan iklim, dan kurangnya dukungan teknis bagi petani. Sebagai contoh, daerah-daerah penanam kakao di Sumatra dan Sulawesi sering mengalami kerusakan lahan akibat deforestasi dan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan. Selain itu, peningkatan hargan biji kakao dunia telah mempengaruhi keputusan beberapa petani untuk beralih ke komoditas lain yang lebih menguntungkan secara finansial. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu menyusun strategi jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas kakao melalui peningkatan akses petani terhadap teknologi modern, pemulihan lahan, dan pelatihan yang efektif.

Infografis bisa membantu memvisualisasikan tantangan-tantangan yang dihadapi industri kakao Indonesia, seperti penurunan lahan produktif, peningkatan biaya produksi, dan ketidakstabilan harga pasaran. Dengan demikian, pembaca dapat lebih memahami pentingnya upaya pengembangan komoditas kakao untuk menciptakan kedaulatan pangan dan meningkatkan pendapatan petani.

Indonesia memiliki potensi yang besar untuk kembali menjadi pemain utama di pasar kakao global. Dengan investasi yang tepat dan dukungan yang konsisten, negara ini dapat mengembalikan posisi sebelumnya sebagai salah satu produsen kakao terkemuka. Petani, pemerintah, dan industri harus bekerja sama untuk mengatasi tantangan saat ini dan mengembangkan strategi yang berkelanjutan. Kunci sukses terletak pada inovasi, kolaborasi, dan komitmen untuk memperbaiki sistem produksi kakao di Indonesia.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan