Pengaruh Kebijakan Hukum yang Memperlalai Otonomi Daerah

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Badan Pengkajian MPR RI, melalui Kelompok III, menggelar FGD tentang desentralisasi, otonomi daerah, pemerintahan daerah, dan desa di Bogor, Jawa Barat, pada Selasa (21/10/2025). Ini merupakan bagian dari upaya strategis MPR RI untuk mengevaluasi pelaksanaan otonomi daerah, hubungan pusat-daerah, serta peran desa dalam tata kelola negara.

Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Hindun Anisah, menegaskan bahwa revisi UUD NRI 1945, khususnya Bab VI tentang Pemerintahan Daerah, telah mengubah paradigma ketatanegaraan secara mendasar. Perubahan ini memerlukan evaluasi terus-menerus untuk memastikan pelaksanaan otonomi daerah tetap sesuai dengan tujuan negara dan prinsip keadilan sosial.

Hindun Anisah menggaris bawahi bahwa meski telah ada perubahan, praktik di lapangan masih menghadapi berbagai tantangan serius. Beberapa masalah yang diungkapkan meliputi pertarungan kewenangan antara pusat dan daerah, dualisme pengaturan desa, serta biaya politik yang tinggi dalam pemilihan kepala daerah. Ia juga menekankan bahwa MPR RI harus terus mengkaji pasal-pasal dalam UUD 1945 terkait otonomi daerah agar tetap relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

“Konstitusi bukan teks mati, melainkan harus mampu menjawab tantangan zaman dan kebutuhan rakyat,” kata Hindun. Ia berharap hasil kajian ini dapat menghasilkan rekomendasi konkret untuk memperkuat tata kelola pemerintahan daerah, meningkatkan pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Guru Besar IPDN, Djohermansyah Djohan, menambahkan bahwa sistem otonomi daerah saat ini masih memiliki kekurangan, baik dari segi peraturan perundang-undangan maupun implementasi kebijakan. Ia mengusulkan penyempurnaan komprehensif yang memperhatikan keseimbangan antara kewenangan dan kapasitas fiskal daerah. Menurutnya, biaya politik dalam pilkada langsung telah menjadi salah satu penyebab korupsi di tingkat daerah. “Sejak 2005 hingga 2026, telah ada 460 kepala daerah tersangkut kasus korupsi, termasuk 38 gubernur. Daerah diberi 32 urusan, tapi anggarannya hanya seperlima dari APBN. Ini jelas tidak seimbang,” ujarnya.

Sementara itu, peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, menyebutkan bahwa desentralisasi yang dilaksanakan selama lebih dari dua dekade belum mencapai tujuan yang diharapkan. Ia menilai masih ada kesenjangan antara idealisme desentralisasi dengan realitas penyelenggaraan pemerintahan di lapangan. “Desentralisasi seharusnya meningkatkan kualitas pelayanan publik, mewujudkan good local governance, memperkuat daya saing, dan menyejahterakan masyarakat. Namun, capaian keempat hal tersebut masih jauh dari optimal,” katanya.

Siti Zuhro juga mengingatkan bahwa interpretasi terlalu luas terhadap otonomi daerah dapat mengaburkan prinsip negara kesatuan. “Kesalahan besar ketika konstitusi memberikan payung hukum ‘seluas-luasnya’. Itu berpotensi menjadikan kita negara federal, bukan unitary state,” tegasnya.

Dekan FISIP Universitas Brawijaya, Ahmad Imron Rozuli, menyoroti ketidakkonsistenan antara rancangan konstitusional dan praktik pemerintahan di lapangan. Ia menjelaskan bahwa tumpang tindih kewenangan, lemahnya koordinasi antarinstansi, dan fragmentasi kebijakan seringkali membuat masyarakat merasa jauh dari pemerintahnya. “Tumpang tindih kewenangan dan lemahnya koordinasi antarkementerian justru menjauhkan masyarakat dari pemerintahnya,” ujarnya.

Imron juga menilai bahwa mahalnya biaya politik dalam pemilihan kepala desa hingga kepala daerah telah mengubah wajah demokrasi lokal. Sebagai solusi, ia mengusulkan agar sistem pemilihan gubernur dikembalikan kepada DPRD untuk mengurangi biaya politik dan menjaga stabilitas hubungan antara eksekutif dan legislatif di daerah. “Desentralisasi harus dijalankan dengan efisien, berkeadilan, dan mempertimbangkan muatan lokal,” pungkasnya.

FGD ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Badan Pengkajian MPR RI untuk mengkaji pelaksanaan UUD 1945. Hasil diskusi diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan berbasis evidensi, khususnya dalam penyempurnaan sistem tata kelola pemerintahan daerah dan desa di Indonesia. Badan Pengkajian MPR RI saat ini sedang mengkaji lima tema besar, termasuk kedaulatan rakyat, kewenangan lembaga negara, desentralisasi, sistem keuangan negara, serta pertahanan dan keamanan negara. Kelima tema tersebut bertujuan memperkuat pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam sistem ketatanegaraan dan merumuskan rekomendasi strategis untuk pembaruan arus pembangunan nasional.

Kajian ini menjadi langkah penting dalam membentuk kebijakan yang lebih efektif dan inklusif, memastikan bahwa desentralisasi tidak hanya menjadi konsep, tetapi juga menjadi realitas yang menguntungkan masyarakat. Upaya ini juga menegaskan peran MPR RI dalam menyempurnakan tata kelola pemerintahan agar lebih responsif terhadap aspirasi rakyat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan