Menaikkan Harga Minyak Goreng Menjadi Layak Jika B50 Dilakukan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Mandatori biodiesel 50% (B50), yakni campuran solar dengan 50% minyak sawit, akan berlaku mulai tahun 2026. Pemerintah juga berupaya menghentikan impor solar untuk mengurangi beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun, ada peringatan terhadap pelaksanaan kebijakan ini. Salah satunya adalah kemungkinan kenaikan harga minyak goreng saat B50 diterapkan. Bayu Krisnamurthi, Guru Besar Kebijakan Agribisnis Institut Pertanian Bogor (IPB), memperkirakan peningkatan harga sekitar Rp 1.900 per liter. Ini disebabkan oleh pengalihan pasokan sawit untuk produksi biodiesel.

Dr Surjadi dari Tim Peneliti Pusat Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia (Pranata UI) menegaskan pentingnya pendekatan yang terukur, adaptif, dan berbasis data ilmiah dalam pelaksanaan kebijakan biodiesel. Ia mengusulkan agar semua pihak di industri ini mempertimbangkan kapasitas produksi, daya saing ekspor, dan kesejahteraan petani.

Indonesia sebagai produsen dan konsumen terbesar minyak sawit dunia, dengan produksi 48,2 juta ton atau 54% pasokan global. Luas areal perkebunan mencapai 16,8 juta hektar. Namun, produksi tahun 2025 diproyeksikan hanya 49,5 juta ton, sementara kebutuhan untuk B50 mencapai 59 juta ton per tahun.

Simulasi menunjukkan B50 akan menghemat devisa impor solar sebesar Rp 172,35 triliun, tetapi berpotensi menekan ekspor CPO hingga Rp 190,5 triliun. Hal ini mengancam surplus perdagangan, cadangan valuta asing, dan stabilitas nilai rupiah. Penurunan ekspor bisa mengakibatkan harga CPO lebih mahal dari minyak nabati lain, seperti kedelai, dengan selisih lebih dari US$ 100 per ton.

Negara importir utama, seperti India, mulai beralih ke minyak kedelai dan bunga matahari, sehingga impor CPO Indonesia diperkirakan turun ke level terendah sejak 2019/2020. Peningkatan B40 ke B50 berpotensi menaikkan harga minyak goreng domestik hingga 9%. Permintaan minyak sawit untuk biodiesel juga mendorong kenaikan harga Tandan Buah Segar (TBS) sekitar Rp 618 per kilogram.

Meski ada keuntungan, kebijakan B50 juga menambahkan beban fiskal baru karena kebutuhan subsidi yang lebih besar. Peningkatan tarif pungutan ekspor CPO memang menekan harga TBS di tingkat petani. Naikkan tarif sebesar 1% diperkirakan menurunkan harga TBS sekitar Rp 333 per kilogram. Jika tarif naik hingga 15,17%, tekanan terhadap harga TBS bisa mencapai Rp 1.725 per kilogram. Dampak ini paling berdampak pada petani swadaya dengan posisi tawar lemah dalam rantai pasokan sawit.

Data Riset Terbaru:
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa untuk memenuhi target produksi B50, perlu ada investasi signifikan dalam teknologi pengolahan dan peningkatan konsesi perkebunan. Studi kasus di Malaysia menunjukkan bahwa dengan integrasi teknologi modern, produksi sawit dapat aumentilkan hingga 20% tanpa perlu perluasan laut perkebunan.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Kebijakan B50 bukan hanya tentang energising hijau, tetapi juga tentang keseimbangan ekonomi. Pemerintah harus mendorong inovasi dalam sektor pertanian agar petani mendapatkan manfaat yang lebih besar dari kenaikan produksi. Strategi ini bisa melibatkan pelatihan teknis dan akses modal yang lebih baik.

Kesimpulan:
Pemerintah harus segera merancang kebijakan yang holistik agar biodiesel B50 tidak hanya menguntungkan industri, tetapi juga petani dan konsumen. Dengan pendekatan yang bijak, Indonesia bisa menjadi pemimpin energi bersih di Asia Tenggara.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan