Wejangan psikolog tentang ruang ikhlas dan pelajaran penting dari kekalahan Timnas

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta – Sepak bolanya Indonesia tak lagi berharap menjadi tuan rumah Piala Dunia 2026 setelah Zidane Iqbal, gelandang Irak, mencetak gol tunggal di menit ke-75. Kejatuhan mimpi itu tak begitu mengejutkan, terutama setelah narasi ‘ruang ikhlas’ semakin meluat di media sosial.

Narasi tersebut muncul saat peluang Timnas semakin tipis untuk meraih tiket final, notamment setelah kalah 3-2 dari Arab Saudi dalam pertandingan sebelumnya. Kehancuran harapan pun pasti terjadi ketika mereka kalah 1-0 dari Irak, menutup jendela peluang terakhir.

Tak cukup dengan evaluasi yang wajib dilakukan, para penggemar sebaiknya menyiapkan ruang ikhlas. Sebelum pertandingan, psikolog klinis Agata Ika Paskarista, M.Psi, memberikan panduan tentang cara membentuk ruang ikhlas. Menurutnya, ini berarti menyediakan tempat untuk menghadapi hasil yang mungkin tidak sesuai ekspektasi.

Ikhlas, katanya, bukan berarti harus menolak sikap optimis. Tetapi tingkat optimisme harus disesuaikan dengan realitas. “Jika kita terlalu optimis, tingkatnya yang semula 100 persen bisa dikurangi sedikit. Kurangnya itu justru menjadi ruang untuk menghadapi ekspektasi yang tidak terpenuhi,” kata Agata, atau lebih akrab dipanggil Attarischa, dalam wawancara dengan Thecuy.com.

Optimisme berlebihan bahkan bisa berbalik mengecewakan jika hasilnya tidak sesuai. Jika terjadi, ruang untuk emosi lain tetap harus ada. “Ini tidak hanya tentang timnas, tetapi juga kehidupan sehari-hari. Kita bisa optimis, itu baik. Namun juga harus memberikan tempat untuk emosi lain seperti kemarahan atau duka ketika hasil tidak seperti yang diharapkan,” tambahnya.

Untuk mengekspresikan emosi, Agata membedakan antara ‘marah’ dengan ‘marah-marah’. “Marah yang sehat dengan marah-marah itu berbeda. Marah adalah emosi, sedangkan marah-marah adalah cara mengekspresikannya,” jelasnya. Menurutnya, ada dua syarat dalam mengelola emosi: tidak menyakiti diri sendiri dan tidak menyakiti orang lain. “Marah boleh, tapi prosesnya harus dengan cara yang sehat, seperti berolahrraga atau bertemu teman,” tutup Agata.

Kehilangan harapan bisa menjadi pelajaran berharga. Meskipun terasa sakit, proses menggugahkan emosi dengan bijak justru bisa membuat kita lebih kuat. Di tengah kekecewaan, ingatlah bahwa setiap kegagalan adalah pintu menuju kesempatan baru. Jangan pernah menghentikan perjalanan hanya karena satu kali kesalahan, karena di balik kebuntuannya, ada pelajaran yang lebih dalam menanti.

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Tinggalkan Balasan