Kejaguan Kementerian Kejagung Terkait Penyangkalan Istilah ‘Oplosan’ dalam Kasus Korupsi BBM

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan bahwa dalam dakwaan kasus dugaan korupsi yang berhubungan dengan impor bahan bakar minyak (BBM) dan penjualan solar nonsubsidi, tidak terdapat istilah “oplosan.” Hal ini karena proses produksi BBM menggunakan metode “blending,” yang melibatkan pencampuran bahan bakar dengan tingkat oktan (RON) yang berbeda.

Anang Supriatna, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, menjelaskan bahwa istilah yang digunakan adalah “blending” bukan “oplosan.” Contohnya, blending antara RON 88 dan RON 92 memang dijual dengan harga yang lebih rendah, dan ada pihak yang mendapatkan keuntungan khusus. “Jadi, sebenarnya tidak ada istilah oplosan, melainkan blending, dan secara teknis memang demikian,” kata Anang kepada wartawan, Jumat (10/10/2025).

Kasus ini terkait dengan dugaan kerugian negara sebesar Rp 285 triliun. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (9/10), tiga terdakwa yang dituntut secara bersama adalah Riva Siahaan, Maya Kusmaya, dan Edward Corne. Setidaknya ada empat terdakwa dalam kasus ini, tetapi dakwaan dibacakan untuk tiga orang terlebih dahulu.

Riva Siahaan adalah Direktur Pemasaran dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga selama 2021 hingga Juni 2023, serta Direktur Utama sejak Juni 2023. Maya Kusmaya menjabat sebagai Vice President Trading & Other Business PT Pertamina Patra Niaga 2021-2023, dan juga Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga. Sementara Edward Corne memiliki beberapa posisi di PT Pertamina sejak 2019 hingga Desember 2022.

Jaksa mengungkapkan dua masalah utama dalam kasus ini, yaitu impor produk kilang/BBM dan penjualan solar nonsubsidi. Edward Corne diduga memberikan perlakuan istimewa kepada dua perusahaan, BP Singapore Pte Ltd dan Sinochem International Oil (Singapore) Pte Ltd, dalam lelang khusus gasoline. Dia juga diperkirakan telah membocorkan informasi pengadaan dan memberikan tambahan waktu penawaran, yang kemudian disetujui oleh Riva Siahaan.

Sementara itu, Riva Siahaan diserukan telah menyetujui usulan harga jual solar/biosolar yang di bawah nilai jual terendah (bottom price), menyebabkan PT PPN mengalami kerugian. Total kerugian negara dari kesalahan tersebut mencapai Rp 70,5 triliun untuk kerugian keuangan dan Rp 215,1 triliun untuk kerugian perekonomian, dengan total Rp 285 triliun.

Selain itu, jaksa menyatakan bahwa PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN) menerima kompensasi dari pemerintah untuk penjualan Pertalite (BBM RON 90) tahun 2022-2023. Namun, PT PPN mengajukan formula penghitungan yang tidak sesuai, yang menyebabkan pemerintah harus membayar lebih banyak kompensasi, sebesar Rp 13,1 triliun lebih dibandingkan penghitungan yang benar.

Kasus ini mengungkapkan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya negara, terutama di sektor energi yang kritis bagi perekonomian. Seluruh pihak harus terjun lebih dalam dalam memastikan bahwa setiap kebijakan dan transaksi dilaksanakan dengan adil dan sesuai dengan peraturan. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa sumber daya negara digunakan dengan bijak dan menaikan kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan