SPBU swasta menarik diri dari pembelian BBM dari Pertamina karena masalah etanol, ini tanggapan Kementerian ESDM

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan tanggapan terkait dengan penolakan pembelian bahan bakar murni oleh penyedia swasta dari Pertamina, yang dikarenakan adanya etanol dalam komposisinya. Laode Sulaeman, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Migas) Kementerian ESDM, menjelaskan bahwa standar untuk bahan bakar di Indonesia ditetapkan berdasarkan Research Octane Number (RON), bukan berdasarkan persentase etanol tertentu. Menurutnya, etanol yang ada masih dalam batas yang aman dan tidak mengganggu kualitas BBM.

Bahan bakar di Indonesia tidak dikategorikan sebagai biogasoline, melainkan sebagai gasoline, sehingga fokus utama adalah pada nilai RON. Laode mengungkapkan bahwa penambahan etanol dalam jumlah kecil masih dianggap sesuai dengan spesifikasi yang berlaku. Dia juga menegaskan bahwa penggunaan etanol dalam bahan bakar merupakan praktik yang baik dan sudah dilakukan oleh beberapa negara, seperti Brasil, yang telah mengimplementasikan etanol hingga lebih dari 20 persen tanpa masalah.

Laode menjelaskan bahwa pembelian bahan bakar murni dari Pertamina oleh SPBU swasta batal karena perbedaan dalam kesepakatan. Ia menggambarkan situasi tersebut seperti pemesanan makanan, di mana salah satu pihak berharap tidak ada tambahan bahan tertentu, sedangkan yang lain menggunakan bahan tambahan untuk menguatkan mutu produk. Pada kasus ini, etanol digunakan sebagai penguat dalam bahan bakar.

Sebelumnya, Achmad Muchtasyar, Wakil Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, mengungkapkan bahwa hingga Rabu (1/10/2025), pasokan bahan bakar yang diimpor oleh Pertamina belum dibeli oleh perusahaan swasta seperti Shell, APR (kerjasama BP-AKR), dan Vivo. Walaupun awalnya sepakat untuk membeli bahan bakar murni, Vivo dan BP-AKR akhirnya membatalkan pembelian karena kandungan etanol sebesar 3,5 persen di dalamnya, yang dianggap tidak sesuai dengan kriteria mereka. Namun, menurut regulasi, etanol dalam bahan bakar diperbolehkan hingga 20 persen.

Achmad menjelaskan bahwa alasan pembatalan tersebut berhubungan dengan kandungan etanol yang ada dalam bahan bakar. Meskipun jumlah etanol 3,5 persen masih dalam batas yang diperbolehkan oleh pemerintah, beberapa SPBU swasta tetap memilih tidak melanjutkan pembelian karena preferensi mereka terhadap bahan bakar tanpa etanol.

Negara-negara seperti Brasil telah sukses mengimplementasikan etanol dalam bahan bakar dengan persentase tinggi tanpa masalah signifikatif. Ini menunjukkan bahwa penggunaan etanol dapat pozyif jika diatur dengan baik. Walaupun demikian, ada perbedaan dalam preferensi antara penyedia swasta yang memengaruhi transaksi ini. Kualitas dan kestabilan bahan bakar tetap menjadi prioritas utama, sehingga pemahaman yang lebih baik antar pihak perlu dilakukan untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan.

Dari situasi ini, terlihat bahwa koordinasi antara produsen, penyedia, dan pemerintah sangat penting untuk menjamin pasokan BBM yang stabil dan memenuhi standar. Dengan penyesuaian yang tepat, penggunaan etanol dapat menjadi solusi yang efektif dalam menunjang keberlanjutan energi di negeri ini.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan