Pertanyaan Mendalam: Mengapa Global Flotilla Memilih Jalur Laut untuk Bantuan Humaniter ke Gaza Meski Israel Blokade Pelabuhan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Angkatan Laut Israel berhasil menahan beberapa kapal yang merupakan bagian dari Global Sumud Flotilla (GSF), yang sedang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza. Dalam kapal tersebut juga terdapat aktivis iklim asal Swedia, Greta Thunberg. Berdasarkan keterangan pihak berwenang Israel, para aktivis akan segera dipindahkan ke pelabuhan Israel untuk melanjutkan proses deportasi. Menurut laporan aktivis, penangkapan tersebut terjadi saat mereka berada di perairan internasional.

Setelah insiden penangkapan tersebut, GSF mengaku bahwa sebagian kapal masih tersisa dan masih dicegat pada Kamis (02/09) pagi. Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Israel menyatakan bahwa hanya satu kapal yang belum berhasil dicegat karena masih berada jauh, namun akan ditangkap jika mendekat. Sebelumnya, minggu lalu, beberapa aktivis melaporkan adanya serangan terhadap armada tersebut. Youssef Samour, salah satu aktivis yang berada di kapal Yulara, mengaku mengalami serangan kimia saat kapalnya sedang bermanuver di laut selatan Pulau Kreta, Yunani. Dia menjelaskan bahwa pesawat tak berawak yang menyerang berjarak dekat dengan kapalnya, menyebabkan iritasi di wajahnya, tetapi bisa dibersihkan dengan air bersih. Yulara adalah salah satu dari sekitar 50 kapal yang ikut dalam GSF, yang terdiri dari 300 aktivis.

Selain tersebut, beberapa kapal di GSF melaporkan ledakan setelah benda tak dikenal dijatuhkan di atas dek mereka. Komunikasi pun terputus saat suara pesawat tak berawak terdengar di atas kepala mereka. Dalam pernyataan mereka, GSF menuduh Israel melakukan “eskalasi berbahaya”. Militer Israel belum memberikan tanggapan resmi mengenai serangan tersebut, tetapi pejabat Kementerian Luar Negeri Israel, Eden Bar Tal, menegaskan bahwa Israel tidak akan memungkinkan kapal manapun memasuki zona pertempuran aktif. Menurutnya, tujuan sebenarnya dari armada ini adalah provokasi dan mendukung Hamas, bukan upaya kemanusiaan.

Dalam gerakan yang belum pernah terjadi sebelumnya, Italia dan Spanyol mengirimkan kapal angkatan laut untuk membantu armada bantuan internasional menuju Gaza. Namun, kedua negara itu menegaskan bahwa kapal mereka tidak akan mendekati kurang dari 278 km dari wilayah Israel/Gaza.

Global Sumud Flotilla, dinamakan berdasarkan kata Arab Sumud yang berarti kegigihan atau ketahanan, adalah koalisi kapal yang membawa bantuan kemanusiaan serta aktivis dari berbagai negara. Tujuan utama mereka adalah mematahkan pengepungan ilegal di Gaza melalui laut, membuka koridor kemanusiaan, dan mengakhiri genosida terhadap rakyat Palestina. Armada tersebut berlayar dari pelabuhan di Spanyol, Italia, Yunani, dan Tunisia setelah ahli dari Klasifikasi Fase Keamanan Pangan Terpadu (IPC) yang didukung PBB mengonfirmasi adanya kelaparan di Kota Gaza. Mereka juga memperingatkan bahwa bencana tersebut dapat menyebar ke wilayah Gaza tengah dan selatan dalam waktu singkat. GSF merupakan armada ke-38 yang berlayar ke Gaza dalam upaya mematahkan blokade maritim yang telah berlangsung jauh sebelum perang di Gaza. Ini juga merupakan upaya terbesar sejak tahun 2008.

Pada tahun 2008, ada setidaknya satu kapal yang berhasil mencapai Gaza, namun semenjak saat itu, semua upaya serupa gagal. Pada tahun 2010, pasukan komando Israel mendarat di kapal Mavi Marmara milik Turki, salah satu dari enam kapal yang berjarak sekitar 130 km dari pantai Israel. Setelah pasukan komando Israel melepaskan tembakan, mereka mengaku diserang terlebih dahulu dengan pentungan, pisau, dan senjata api, yang menewaskan 10 aktivis Turki. Ide untuk misi GSF ini lahir di pertengahan Juli setelah tiga kapal yang tergabung dalam Freedom Flotilla Coalition, Conscience, Madleen, dan Handala telah mencoba berlayar ke Gaza antara Mei dan Juli tahun ini. Kapal pertama, Conscience, diduga diserang oleh pesawat tak berawak pada Mei di lepas pantai Malta. Pemerintah Malta mengonfirmasi bahwa kebakaran di atas kapal telah dipadamkan semalam. Madleen berlayar pada Juni dengan membawa 12 orang, termasuk Greta Thunberg, dan menjadi sorotan internasional. Kementerian Luar Negeri Israel menyebutnya sebagai “kapal pesiar swafoto” yang membawa “kurang dari satu truk penuh bantuan”. Madleen dicegat oleh pasukan Israel sekitar 185 km di sebelah barat Gaza dan dibawa ke pelabuhan Ashdod di Israel. Thunberg dan yang lainnya kemudian dideportasi. Pada Juli, kapal lain, Handala, berangkat dengan 21 orang di dalamnya, tetapi pasukan Israel mencegat dan menaiki kapal tersebut sekitar 75 km dari Gaza. Mereka yang berada di kapal mengeluh bahwa mereka berada di perairan internasional saat itu, tetapi Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan angkatan laut mereka menghentikan kapal tersebut dari memasuki zona maritim pantai Gaza secara ilegal dan melanggar blokade di sana.

Serangan pada Rabu (01/10) bukanlah yang pertama terhadap armada saat ini, menurut GSF, yang mengatakan bahwa kapal mereka juga diserang saat berada di pelabuhan di Tunisia. Tindakan pencegahan ekstra kini diberlakukan menyusul serangan minggu ini terhadap armada. Abdel Rahman Ghazal, peserta asal Kuwait di atas kapal Spectre, mengatakan kepada BBC bahwa dia hanya berjarak setengah meter dari sebuah perangkat yang dijatuhkan oleh pesawat tak berawak meledak pada Rabu lalu. Ia menyebut bahwa mereka terkena tiga bom, dengan bom terakhir jatuh di tepi atas kapal dan ke laut. Ghazal merasa bau gas yang sangat menyesakkan dan hampir tidak bisa bernapas selama beberapa menit. Ia beraksi cepat dengan menyiramkan air laut ke zat yang dijatuhkan. Sekarang, Ghazal dan relawan lainnya mengikuti protokol keselamatan yang lebih ketat. Mereka tidak lagi tidur di area terbuka dan selalu membawa rompi pelampung saat beristirahat. Kelompok itu mengadakan konferensi pers pada Kamis (02/10), di mana mereka mengatakan mereka memiliki “informasi intelijen yang kredibel” tentang upaya Israel untuk menghentikan armada tersebut dalam 48 jam ke depan. Mereka juga mengaku sedang menyelidiki sumber informasi ini, karena Israel telah berulang kali mengatakan bahwa mereka akan melakukan segala yang mereka bisa untuk menghentikan misi ini. Juru bicara GSF menambahkan bahwa semua peserta telah diancam dengan tuntutan hukum berdasarkan undang-undang antiterorisme dan hukuman penjara yang panjang.

Dari politisi hingga selebritas, GSF dikelola oleh relawan dari puluhan negara. Cucu Nelson Mandela, Mandla Mandela, aktris Amerika Susan Sarandon, aktris Prancis Adele Haenel, serta pejabat terpilih seperti Anggota Parlemen Eropa La France Insoumise Emma Fourreau dan mantan Wali Kota Barcelona Ada Colau ikut membantu. GSF mengatakan setiap kapal mewakili “sebuah komunitas dan penolakan untuk tetap diam dalam menghadapi genosida”. Thunberg juga ikut serta dalam armada kali ini. Dalam siaran langsung bersama Francesca Albanese, pelapor khusus PBB untuk wilayah Palestina, Thunberg menyebut serangan itu sebagai “taktik menakut-nakuti”. Thunberg menegaskan bahwa mereka sadar akan risiko serangan semacam ini, jadi itu bukan sesuatu yang akan menghentikan mereka. Thunberg juga menegaskan bahwa mereka sangat bertekad untuk melanjutkan misi mereka.

Selain untuk membuka koridor kemanusiaan, GSF juga berusaha untuk menarik perhatian dunia terhadap kondisi di Gaza. Mereka berharap dengan kehadiran aktivis dan selebritas internasional, tekanan politik dan diplomatik terhadap Israel akan meningkat. Namun, upaya mereka terus ditentang dengan keras oleh Israel, yang melihat armada ini sebagai ancaman dan upaya provokasi. Di sisi lain, para aktivis dan penentang blokade Gaza menganggap ini sebagai langkah penting untuk menyampaikan bantuan yang sangat diperlukan, terutama dalam kondisi kelaparan yang semakin memburuk. Misi ini juga menjadi simbol resistensi dan solidaritas internasional terhadap penindasan yang dialami rakyat Palestina.

Data Riset Terbaru:
Menurut laporan recent dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kondisi di Gaza masih sangat kritis dengan lebih dari 60% populasi mengalami kekurangan akses terhadap air bersih dan layanan kesehatan dasar. Mereka memperingatkan bahwa blokade yang berlangsung dapat mempengaruhi generasi masa depan Gaza. Studi kasus terbaru juga menunjukkan bahwa upaya bantuan melalui laut telah menurun drastis sejak awal 2024, dengan hanya 20% dari total bantuan yang berhasil mencapai Gaza, dibandingkan 70% pada tahun 2023. Ini menunjukkan bahwa blokade maritim telah semakin ketat, mengurangi akses terhadap bantuan yang vital.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Blokade Gaza telah menjadi salah satu isu paling komplex dalam konflik Israel-Palestina. Sementara Israel menegaskan bahwa blokade dilakukan untuk keamanan nasional, banyak pihak internasional memandangnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Upaya seperti GSF menunjukkan adanya dukungan global untuk memecahkan blokade, tetapi tantangan tetap ada. Dengan adanya teknologi modern seperti drone dan sistem pengawasan maritim yang canggih, Israel memiliki keunggulan taktis dalam menghentikan armada bantuan. Namun, dukungan moral dan politik dari berbagai negara dan organisasi internasional tetap menjadi faktor kunci dalam menegakkan tekanan agar blokade ini diangkat.

Studi Kasus:
Studi kasus pada misi sebelumnya menunjukkan bahwa meskipun kesuksesan terbatas dalam mencapai Gaza, dampaknya telah cukup besar dalam menggalang simpati global. Contohnya, setelah insiden Mavi Marmara 2010, ada peningkatan perhatian dunia terhadap situasi di Gaza, yang mempengaruhi keputusan politik dan bantuan internasional. Dalam konteks saat ini, dengan adanya tokoh seperti Greta Thunberg dan Susan Sarandon, GSF dapat mengubah narasi konflik dan menyoroti pentingnya bantuan kemanusiaan.

Infografis:
Gambaran visual jumlah bantuan yang berhasil masuk ke Gaza vs. yang ditahan oleh blokade akan membantu membuktikan dampak signifikatif dari blokade ini. Data seperti ini bisa menyorot pada jumlah bantuan yang dibutuhkan dan seberapa besar kemungkinan mereka untuk mencapai tujuan akhir. Visualisasi ini juga dapat menampilkan tingkat dukungan global dari berbagai negara terhadap upaya GSF, membuktikan bahwa ini bukan saja usaha kecil, tetapi gerakan internasional yang besar.

Insight:
Misi GSF menunjukkan bahwa kesadaran global terhadap situasi di Gaza masih tinggi. Namun, untuk menghasilkan perubahan nyata, diperlukan koordinasi yang lebih baik antara organisasi internasional dan pemerintah untuk memaksa Israel membuka blokade secara permanen. Selain itu, upaya diplomasi harus terus dilakukan untuk menemukan solusi jangka panjang yang memenuhi kebutuhan kemanusiaan rakyat Palestina tanpa mengorbankan keamanan Israel.

Sekarang, dunia harus bergerak lebih cepat untuk mencegah tragedi lebih lanjut. Tidak hanya dengan bantuan material, tetapi juga dengan dukungan politik yang kuat, kita dapat mengakhiri penghentian yang tidak manusiawi ini. Setiap upaya, meskipun kecil, adalah langkah maju dalam menghadapi krisis yang sedang berkecamuk.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan