Tersangka Kasus Pencurian Dana Hibah Jatim Meliputi Anggota DPRD

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

KPK telah mengungkap peran lima individu dalam kasus pengalokan dana hibah untuk kelompok masyarakat (Pokmas) yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Provinsi Jawa Timur untuk periode tahun 2019-2022. Keempat di antaranya berperan sebagai kordinator lapangan yang bertanggung jawab atas pengelolaan dana tersebut.

Menurut Asep Guntur Rahayu, pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, lima individu tersebut, yaitu Hasanuddin, Jodi Pradana Putra, Sukar, Wawan Kristiawan, dan A Royan, telah merencanakan agar dana hibah dari DPRD dapat dialokasikan ke wilayah mereka. Mereka melakukan praktik “ijon” atau pemberian uang sebelum proposal dana hibah disetujui. Hal ini merupakan bentuk penyuapan untuk memastikan dana tersebut dapat diterima.

Asep menjelaskan bahwa para kordinator lapangan telah menyadari bahwa dana hibah secara rutin dialokasikan setiap tahun. Namun, mereka berusaha untuk memastikan dana tersebut mengalir ke wilayah mereka dengan memberikan ijon kepada anggota DPRD.

Dana hibah pokok pikiran (pokir) yang diambil alih Kusnadi, sebagai Ketua DPRD Jatim saat itu, mencapai Rp 398,7 miliar dalam empat tahun. Rinciannya Rp 54,6 miliar pada tahun 2019, Rp 84,4 miliar pada tahun 2020, Rp 124,5 miliar pada tahun 2021, dan Rp 135,2 miliar pada tahun 2022. Dana ini kemudian diserahkan kepada lima kordinator lapangan dengan rincian masing-masing Hasanuddin Rp 30 miliar, Jodi Pradana Putra Rp 91,7 miliar, serta Sukar, Wawan Kristiawan, dan A Royan sebesar Rp 2,1 miliar.

Setiap kordinator lapangan membagi hasil dana hibah dengan Kusnadi dalam bentuk ijon, dengan persentase yang berbeda-beda, mulai dari 20 hingga 30 persen dari total dana yang mereka kelola. Sebagai contoh, Jodi Pradana Putra memberikan Rp 18,6 miliar (20,2%) dari dana sebesar Rp 91,7 miliar, sedangkan Hasanuddin memberikan Rp 11,5 miliar (30,3%) dari total Rp 30 miliar.

Dari ijon ini, Kusnadi menerima total Rp 32,2 miliar. Selain kepada Kusnadi, para kordinator lapangan juga membagikan dana hibah kepada pengurus Pokmas dan admin pembuatan proposal serta laporan fizikal (LPJ). Akibatnya, hanya sekitar 50 hingga 70 persen dari dana hibah yang sesungguhnya dapat digunakan untuk kebutuhan wilayah, sementara sisanya habis untuk ijon dan pengelolaan internal.

Ini menyebabkan pembangunan dan kegiatan masyarakat tidak maksimal. Menurut Asep, dari 100 persen anggaran, hanya 55 persen yang dapat digunakan, dan pelaksana proyek mungkin mengambil sebagian lagi, sehingga hanya 40 persen yang diimplementasikan. Hal ini mempengaruhi kualitas bangunan dan infrastruktur, seperti jalan yang mudah rusak atau bangunan yang mudah roboh.

KPK telah menahan empat tersangka dalam kasus ini: Hasanuddin (anggota DPRD Jatim atau pihak swasta dari Gresik), Jodi Pradana Putra (pihak swasta dari Blitar), Sukar (mantan kepala desa dari Tulungagung), dan Wawan Kristiawan (pihak swasta dari Tulungagung). Kasus ini merupakan pengembangan dari perkara sebelumnya yang melibatkan mantan Wakil Ketua DPRD Jatim, Sahat Tua Simanjuntak.

Dari 21 tersangka yang ditetapkan KPK, empat di antaranya adalah penyelenggara negara, sementara 17 lainnya, dengan 15 pihak swasta dan 2 penyelenggara negara, berperan sebagai pemberi suap.

Korupsi dalam pengelolaan dana hibah tidak hanya merugikan dana negara, tetapi juga mempengaruhi kualitas pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Kasus ini mengingatkan kita akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik. Setiap warga harus sadar dan waspada terhadap praktik-praktik korupsi yang merugikan masyarakat. Jaga kebersihan dan kejujuran dalam setiap proses pengelolaan dana untuk menghindari kerugian yang lebih besar.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan