Pemandangan Indah dan Menakjubkan di Kota Tasikmalaya

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Di kota Tasikmalaya, perjalanan yang seharusnya singkat dengan ojek online berubah menjadi pengalaman berkesan. Di balik helm hijau, Yuda, sopir ojeknya, membagikan cerita hidup yang jauh lebih dalam dari hanya mengantarkan penumpang. Sebelum menjadi pengemudi ojek online setelah pandemi Covid-19, Yuda adalah seorang ahli dalam membuat kelom geulis, alas kaki kayu berukir yang selama puluhan tahun menjadi simbol kebanggaan kota ini. Ia memproduksi kerajinan itu selama lebih dari lima tahun, namun harus berhenti ketika pandemi menimpa keras pada industri kreatif.

“Pada waktu itu, pasar sempit dan modal yang dibutuhkan besar. Tambah lagi susah menemukan tenaga kerja yang ahli dalam teknik ukir. Kelom geulis bukan buatan sembarangan; perlu keahlian khusus agar fruits terlihat otentik,” kata Yuda, sementara mempertahankan kecepatan motor di lampu merah, Kamis (26/9/2025).

Kelom geulis bukan hanya sandal kayu biasa. Proses pembuatannya memerlukan langkah-langkah yang rumit: memilih kayu yang kuat, mengukir motif kompleks, melapisi cat dan lapisan pelindung, hingga menambahkan kain atau kulit di bagian atas. Semua tahapan tersebut memerlukan modal besar, tenaga terampil, dan ketelitian.

Menurut Yuda, untuk satu pasang kelom geulis, biaya produksi bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Jika dipasarkan tanpa jaringan yang luas, keuntungan tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan.

“Bikin satu-dua pasang saja tak mencukupi. Kalau bikin banyak, modalnya menjadi beban. Jadi semuanya sulit,” ungkapnya.

Dulu, kawasan Gobras di Tasikmalaya terkenal sebagai pusat pengrajin kelom geulis. Di sana, banyak rumah dan bengkel kecil yang memproduksi sandal kayu dengan berbagai motif—bunga, batik, hingga desain tradisional. Kelom geulis bahkan pernah menjadi hadiah favorit bagi wisatawan dan digunakan dalam berbagai acara adat Sunda.

Namun, sekarang suasana itu sudah hilang. Banyak workshop kelom geulis telah menutup karena tidak mampu bertahan. Permintaan pasar terus menurun, dikalahkan oleh sandal modern yang lebih murah dan praktis. Generasi muda pun jarang tertarik untuk mewarisi keterampilan mengukir kayu.

Dengan adanya tantangan ekonomi dan perlahan hilangnya warisan budaya, Yuda dan banyak pengrajin lainnya harus beralih ke pekerjaan lain untuk menjaga keberlangsungan hidup. Namun, dengan semangat yang masih padam, mereka berharap bahwa kelom geulis masih bisa mendapat perhatian kembali, baik dari pemerintah maupun masyarakat, agar kerajinan ini tidak hilang sepenuhnya. Kreativitas dan tradisi harus terus dipertahankan, bukan hanya sebagai warisan, tetapi juga sebagai sumber keberagaman dan kebanggaan lokal.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan