Menurut UU Tapera Bertentangan UUD, Tabungan Wajib Dipaksa

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Mahkamah Konstitusi (MK) mengemukakan bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak sesuai dengan UUD 1945 dan memerlukan revisi. Badan ini menetapkan batas waktu maksimal dua tahun untuk melaksanakan perbaikan tersebut.

Ketua hakim MK, Suhartoyo, menyatakan bahwa UU Tapera harus disusun ulang dalam kurun waktu paling lama dua tahun sejak putusan tersebut diumumkan. Hal ini dilakukan untuk memastikan kesesuaian dengan ketentuan konstitusi.

Hakim MK juga menegaskan bahwa UU Tapera saat ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sebelum perbaikan dilakukan, sesuai dengan Pasal 124 UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Seluruh ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), dan Pasal 72 ayat (1) UU Tapera diyakini menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak adil, sesuai dengan Pasal 28D ayat (2), Pasal 281 ayat (2), dan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Hal ini didasarkan pada alasan-alasan yang diungkapkan oleh pemohon, seperti Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto.

Karenanya, Pasal 7 ayat (1) UU Tapera, yang dianggap sebagai “pasal jantung” dari undang-undang tersebut, membuat MK menyimpulkan bahwa UU Tapera secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945.

Selain itu, pelaksanaan UU Tapera saat ini sudah diaplikasikan kepada ASN/PNS. Namun, MK menyarankan untuk memberikan pengaturan transitisi yang layak bagi pembentukan undang-undang baru. ini dilakukan untuk menghindari kekosongan hukum yang dapat mengganggu pengelolaan iuran dan aset peserta, serta potensi risiko hukum terhadap entitas pelaksana seperti BP Tapera dan lembaga keuangan terkait.

Untuk mencegah nepotisme hukum dan gangguan administrasi, MK memberikan waktu maksimal dua tahun kepada pembuat undang-undang untuk merumuskan kembali peraturan tersebut sesuai dengan Pasal 124 UU 1/2011.

Gugatan terhadap UU Tapera diajukan oleh Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto dengan nomor perkara 96/PUU-XXII/2024. Dalam penilaiannya, MK menilai bahwa Tapera bukan pungutan yang bersifat memaksa. Namun, konsep tabungan Tapera menghasilkan tabungan yang awalnya sukarela menjadi memaksa.

Hakim MK menganggap bahwa Pasal 7 ayat (1) UU No 4 Tahun 2016 tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Karena menurut hakim, norma tersebut memaksa setiap pekerja, termasuk pekerja mandiri, untuk menjadi peserta Tapera, meskipun penghasilan mereka setara dengan upah minimum.

Hal ini menggeser peran negara sebagai penjamin ke pemungut iuran dari warganya, yang tidak sejalan dengan esensi Pasal 34 ayat (1) UUD 1945. Pasal tersebut menekankan tanggung jawab negara untuk melindungi kelompok rentan, bukan menambah beban mereka berupa tabungan yang memaksa.

Kewajiban seragam untuk semua pekerja, termasuk mereka yang sudah memiliki rumah atau belum, diyakini menimbulkan perlakuan yang tidak proporsional dan potensi beban ganda bagi pekerja.

Selain itu, adanya beban tambahan dalam bentuk tabungan yang memaksa dianggap bertentangan dengan prinsip keadilan sosial dan perlindungan kelompok rentan, serta kesesuaian dengan peraturan perundang-undang dan hak konstitusional warga negara yang dijamin dalam UUD 1945.

Mengapa kebijakan sosial harus berdampak negatif pada sebagian masyarakat? Setiap kebijakan harus dipertimbangkan dengan matang, terutama ketika berdampak pada kelompok rentan. Tabungan perumahan harus menjadi pilihan, bukan kewajiban. Mari kita selalu mempertanyakan apakah kebijakan tersebut sebenarnya menguntungkan atau justru menambahkan beban pada warga. Jaga kesetaraan dan keadilan dalam setiap regulated yang dibuat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan