Asosiasi Komposer dan Penulis Lagu Terima Usulan Skema Royalti Hybrid dari Dana Golkar

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Anggota parlemen dari Partai Golkar di DPR RI telah menerima pertemuan dengan Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) untuk membahas perbaikan sistem royalti di negara ini. Dalam acara ini, AKSI mengajukan ide tentang pendekatan hybrid dalam pengaturan royalti.

Kegiatan tersebut dilaksanakan di gedung parlemen, Jakarta, pada hari Rabu (24/9/2025). Selain itu, hadir juga Bendahara Fraksi Golkar dan Wakil Ketua Komisi III DPR, Sari Yuliati, serta Wakil Ketua Komisi XIII DPR, Dewi Asmara, dan anggota Komisi VII DPR, Ilham Permana.

Ketua Fraksi Golkar, Sarmuji, menyatakan dukungan terhadap kebutuhan perbaikan sistem royalti. Menurutnya, tata kelola royalti tidak boleh terlalu rumit sehingga mengganggu pencipta lagu. “Sistem yang kompleks akan sulit bagi industri untuk membayar, dan akhirnya pencipta tidak akan memperoleh hak yang seharusnya,” ungkapnya.

Sistem royalti, demikian kata Sarmuji, harus jernih dan adil. Selain itu, sistem tersebut harus memudahkan semua pihak. “Kami mendukung tuntutan pencipta lagu agar sistemnya diperbaiki, transparan, dan adil. Ini tidak hanya untuk pencipta, tetapi juga dunia usaha,” terangnya. Sarmuji juga menyoroti pentingnya keseimbangan agar aturan royalti tidak menjadi beban bagi pelaku usaha.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum AKSI, Satriyo Yudi Wahono, lebih dikenal dengan nama Piyu Padi, menekankan bahwa revisi UU Hak Cipta harus melindungi para pencipta musik. Menurutnya, pembayaran royalti untuk konser sebaiknya dilakukan sebelum acara berlangsung. “Tanpa lagu, tidak ada konser. Royalti bukan hanya beban untuk promotor, tetapi juga tanggung jawab bersama artis, manajemen, dan penyelenggara untuk menjamin hak ekonomi pencipta,” katanya.

Piyu kemudian mengusulkan skema hybrid system, yang menggabungkan blanket license (untuk media penyiaran, kafe, hotel) dengan direct license (untuk konser). Menurutnya, model ini sudah umum di tingkat internasional dan lebih adil bagi pencipta musik.

Dalam hal tarif, Piyu menilai skema saat ini—2 persen dari penjualan tiket—tidak efektif. Ia mengajukan alternatif seperti 10 persen dari honorarium artis (pro rata per lagu) atau 2 persen dari median harga tiket dikali kapasitas venue (pro rata per lagu). Untuk acara non-tiket, seperti pernikahan, Piyu memberikan opsi 10 persen dari honorarium artis.

Piyu juga mendorong adanya aturan yang jelas terkait hak moral pencipta, digitalisasi sistem penarikan royalti berbasis langganan, serta pengawasan terhadap pembajakan digital dan penggunaan kecerdasan buatan. “Negara harus memberikan perlindungan nyata, bukan hanya retorika. Kreativitas perlu berkembang bersama dengan kepastian hukum,” tutupnya.

Perbaikan sistem royalti bukan hanya tentang keadilan bagi pencipta, tetapi juga tentang keberlanjutan industri kreatif. Dengan aturan yang transparan dan efisien, pencipta musik dapat memperoleh penghasilan yang layak, sementara industri juga tidak merasa terpengaruh negatif. Masalah ini bukan hanya ekonomi, tetapi juga tentang menghargai kontribusi seni dalam kehidupan masyarakat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan