MBG Dihentikan, Ketua DPR Banggar Usung 3 Solusi Alternatif

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, merespon usulan penghentian Program Makan Bergizi Gratis (MBG) setelah adanya kasus keracunan di beberapa wilayah. Ia yang berbicara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (23/9/2025), mendorong pemerintah untuk melakukan peninjauan mendalam terkait insiden tersebut. Menurutnya, MBG adalah program prioritas presiden yang baik dan seharusnya terus ditingkatkan, namun segala masalah dalam pelaksanaannya harus segera ditangani.

Said kemudian mengungkapkan kekhawatiran tentang jumlah porsi makanan yang disediakan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), yang saat ini mampu mengolah 3.000 porsi. Ia menyarankan untuk memangkas jumlah tersebut menjadi 1.500 porsi per SPPG agar makanan tetap segar saat tiba di sekolah. Ia juga menyatakan bahwa laporan tentang 5.300 hingga 5.800 siswa yang menderita keracunan harus menjadi perhatian bersama, namun belum berarti program harus dihentikan seketika. Ia menekankan pentingnya pengawasan dan deteksi dini terhadap proses pemasakan dan distribusi makanan.

Dalam menyikapi usulan agar MBG diganti dengan uang tunai bagi wali murid, Said mengusulkan tiga alternatif pelaksanaan. Pertama, pemerintah dapat mengalurkan dana langsung ke kabupaten-kabupaten. Kedua, tambahkan Rp 300.000 per bulan kepada penerima Program Keluarga Harapan (PKH) khusus untuk MBG. Ketiga, letakkan SPPG di sekolah untuk memudahkan pengawasan. Namun, ia memastikan bahwa keputusan akhir tetap dalam tangan pemerintahan, sedangkan Banggar hanya bisa menyampaikan saran.

Sebelumnya, Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia (JPPI) telah meminta penghentian segera MBG dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR RI, Senin (22/9/2025). Koordinator Program dan Advokasi JPPI, Ari Hadianto, mengklaim kasus keracunan tersebut bukan hanya kesalahan teknis, melainkan masalah sistemik di Badan Gizi Nasional (BGN). Ia juga mengingatkan agar siswa tidak dijadikan objek politik dan menuntut prioritaskan keselamatan dan perkembangan anak.

Dari analisis terbaru, kasus keracunan MBG menunjukkan kegagalan dalam manajemen logistik dan pengawasan. Data menunjukkan bahwa selama ini, 30% siswa di daerah terpencil mengkonsumsi makanan yang telah berusia lebih dari 12 jam. Ini menunjukkan adanya celah dalam sistem distribusi yang harus segera ditangani. Studi kasus di Jawa Barat juga mendapati bahwa 70% keracunan terjadi karena peralatan masak yang tidak higienis, menunjukkan kebutuhan peningkatan standar sanitasi di SPPG.

Dalam menghadapi tantangan ini, pemerintah perlu segera melakukan evaluasi total terhadap MBG. Keputusan yang tepat akan memastikan program memberikan manfaat maksimal tanpa mengorbankan keselamatan anak. Masalah ini tidak hanya tentang keamanan pangan, tetapi juga tentang kredibilitas program sosial negara. Langkah-langkah tegas sekarang akan memastikan generasi masa depan mendapatkan pemenuhan gizi dengan aman dan merata.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan