Menkeu Hadapi Tantangan Selaraskan Kebijakan Fiskal dan Moneter

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Salah satu masalah klasik dalam sejarah ekonomi Indonesia adalah perbedaan dalam penerapan kebijakan fiskal dan moneter yang sering tidak berjalan secara bersamaan. Padahal, teori ekonomi menyatakan bahwa keduanya harus saling mendukung satu sama lain. Kebijakan fiskal bertanggung jawab atas manajemen penerimaan dan pengeluaran negara, sementara kebijakan moneter bertujuan untuk menjaga stabilitas harga, likuiditas, dan nilai tukar mata uang. Namun, dalam praktiknya, koordinasi antara keduanya sering kali kurang optimal.

Contohnya, ketika pemerintah meningkatkan belanja negara untuk mendorong aktivitas industri, Bank Indonesia mungkin menaikkan suku bunga dengan tujuan mengendali inflasi. Hal ini malah berdampak negatif, karena strategi pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat justru ditekan oleh suku bunga yang tinggi. Akibatnya, investasi dan permintaan kredit menurun, padahal pemerintah memang berusaha menstimulasi ekonomi melalui belanja modal. Hasilnya, beban fiskal meningkat, namun inflasi tetap sulit terkendali.

Kebalikan saja terjadi ketika Bank Indonesia menerapkan pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga atau menambah likuiditas. Dalam kondisi ini, pemerintah daerah sering kali terlambat dalam mengeluarkan belanja modal. Uang sudah tersedia, tetapi proyek infrastruktur tidak segera dikerjakan karena hambatan birokrasi. Akibatnya, stimulus moneter kehilangan momentum dan gagal mendorong pertumbuhan seperti yang diharapkan.

Kooridinasi ini menjadi lebih rumit dengan adanya kebijakan “offside” antara Bank Indonesia dan pemerintah dalam pengendalian inflasi. Masyarakat sering meyakini bahwa inflasi hanya bisa dikendalikan oleh bank sentral. Padahal, mayoritas inflasi di Indonesia berasal dari sisi penawaran, bukan permintaan. Volatilitas harga beras, cabai, bawang, telur, atau bahan bakar minyak (BBM) lebih banyak dipengaruhi oleh gangguan pada sisi penawaran daripada fluktuasi permintaan.

Ketika pasokan pangan terganggu akibat gagal panen, perubahan iklim, atau distribusi yang mahal karena infrastruktur logistik yang lemah, harga naik tajam. Bank Indonesia kemudian menaikkan suku bunga, namun langkah ini tidak langsung menambah pasokan pangan. Inflasi tetap tinggi meskipun kredit ke bisnis tertekan. Kebijakan Bank Indonesia ini bisa dikatakan “offside” karena masuk ke ranah yang seharusnya ditangani oleh kebijakan lain.

Contohnya, krisis harga beras pada 2023-2024 dipicu oleh penurunan produksi akibat El Niño. Pemerintah mencoba menanggulangi dengan impor, namun koordinasi antar kementerian lambat. Dalam situasi seperti itu, kebijakan moneter yang ketat tidak akan bisa menyelesaikan masalah inti. Sebaliknya, peran fiskal, seperti subsidi pupuk, perbaikan irigasi, dan manajemen cadangan beras, lebih efektif.

Padahal, anggaran kebijakan moneter setiap tahunnya sering kali mengalami peningkatan meskipun sumber inflasi lebih banyak berasal dari sisi penawaran. Idealnya, anggaran kebijakan moneter harus berubah sesuai dengan kebutuhan untuk memengaruhi stabilitas harga dan nilai tukar.

Menteri Keuangan baru menghadapi tugas yang berat, terutama dalam membangun keselarasan antara kebijakan fiskal dan moneter. Beberapa tantangan utama yang perlu ditangani adalah membangun koordinasi yang kuat, fokus pada inflasi pangan dan energi, pengelolaan utang dan defisit, serta waspada terhadap dinamika global. Koordinasi antara Bank Indonesia dan Kemenkeu saat ini lebih bersifat simbolis, hanya dalam bentuk rapat formal. Namun, diperlukan mekanisme berbasis data real-time untuk merespons gejolak harga, pergerakan modal, dan perubahan likuiditas dengan cepat.

Lebih dari 40% komponen inflasi berasal dari pangan yang berfluktuasi. Oleh karena itu, kebijakan fiskal harus difokuskan pada stabilisasi harga pangan melalui investasi infrastruktur rantai pasok, penyediaan cold storage, serta cadangan pangan strategis yang dapat diakses kapan saja.

Selanjutnya, pengelolaan utang dan defisit harus diperhatikan. Ketika kebijakan moneter ketat, defisit fiskal yang melebar akan meningkatkan beban utang pemerintah. Menteri Keuangan baru perlu prioritaskan belanja produktif yang memberikan efek ganda, sementara belanja konsumtif harus ditekan. Selain itu, dinamika global seperti arus keluar modal asing bisa terjadi kapan saja. Tanpa koordinasi erat, kebijakan fiskal dan moneter akan kehilangan efektivitas. Oleh karena itu, sinkronisasi kebijakan menjadi hal yang mutlak.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Menteri Keuangan baru dapat menghidupkan forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan koordinasi proaktif dengan otoritas kebijakan moneter dan keuangan. Bukan hanya pertemuan triwulanan, tetapi forum koordinasi mingguan atau bulanan dengan fokus pada proyeksi inflasi dan realisasi APBN. Dengan demikian, kebijakan fiskal bisa sejalan dengan kebijakan moneter.

Lanjutnya, Menteri Keuangan baru harus arahkan belanja fiskal pada sisi produksi, seperti perbaikan irigasi pertanian, pembangunan pelabuhan logistik, pemberian insentif pajak bagi industri pupuk, dan program hilirisasi pertanian. Dengan demikian, inflasi bisa ditekan dari akarnya.

Langkah selanjutnya adalah melakukan integrasi dan digitalisasi data. Dengan demikian, pergerakan belanja pemerintah dapat terlihat secara real-time, sehingga penyerapan anggaran bisa lebih effektif. Bank Indonesia juga dapat menyesuaikan likuiditas dengan lebih tepat.

Subsidi BBM dan energi sebaiknya menggunakan mekanisme automatic stabilizer, yaitu menurun otomatis ketika harga energi global turun dan naik ketika harga melonjak. Dengan demikian, kebijakan fiskal lebih fleksibel dan tidak selalu bertabrakan dengan moneter.

Terakhir, Menteri Keuangan baru harus memperkuat komunikasi publik. Kebingungan masyarakat sering terjadi karena Bank Indonesia dan Kemenkeu memberikan pesan yang berbeda. Menteri Keuangan baru harus berkomitmen untuk membangun komunikasi yang konsisten dengan bank sentral agar pasar lebih percaya diri.

Koordinasi fiskal dan moneter adalah seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Tidak ada kebijakan moneter yang berhasil tanpa dukungan fiskal, dan sebaliknya. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Singapura telah sukses menyatukan arah kebijakan fiskal dan moneternya dalam satu narasi yang jelas. Indonesia membutuhkan hal yang sama, terutama dengan tantangan yang semakin berat di depan, seperti transisi energi, ancaman perubahan iklim, dan geopolitik global yang memengaruhi harga minyak dan komoditas.

Menteri Keuangan baru tidak hanya harus mengelola APBN, tetapi juga menjadi jembatan utama antara kebijakan fiskal dan moneter. Dengan kepemimpinan yang kuat, komunikasi yang jelas, dan keberanian mengambil keputusan strategis, sinkronisasi fiskal dan moneter bisa menjadi dasar pertumbuhan ekonomi yang stabil, inklusif, dan berkelanjutan.

Kebijakan fiska yang dikembangkan oleh Menteri Keuangan harus sejalan dengan program kerakyatan yang ditekankan Presiden Prabowo. Pada saat yang sama, pemerintah perlu konsisten mengurangi belanja-belanja yang tidak produktif, sehingga ruang fiskal dapat diarahkan sepenuhnya untuk mendukung agenda pembangunan yang pro-rakyat. Dengan demikian, setiap program dan alokasi anggaran tidak hanya menjadi instrumen teknokratis, tetapi benar-benar berfungsi sebagai alat negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Koordinasi yang kuat antara kebijakan fiskal dan moneter adalah kunci untuk mengatasi tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Dengan sinkronisasi yang baik, Indonesia bisa meraih pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan berkelanjutan, memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan