Istri Hakim Agam di Terdakwa Kasus Migor Akui Sering Mendapat Dolar AS dan Singapura

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Ima Sepiana, pasangan hakim Agam Syarief Baharudin yang terkait kasus suap vonis lepas perkara minyak goreng, mengakui bahwa ia menerima uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat dan Singapura dari suaminya secara rutin. Uang tersebut dikatakannya diterima setiap dua hingga tiga bulan sekali.

Dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (17/9/2025), Ima awalnya menjelaskan bahwa nafkah bulanan yang diterimanya dari Agam berjumlah Rp 5 juta. Namun, jaksa kemudian meminta penjelasan lebih lanjut tentang penerimaan tambahan dalam bentuk mata uang asing.

Ima mengaku menerima uang dalam dolar AS dan Singapura dengan jumlah yang bervariasi, terkadang mencapai 50 hingga 70 lembar setiap dua hingga tiga bulan. Menurut konversi saat itu, jumlah tersebut mencapai sekitar Rp 110 juta. Jaksa kemudian membacakan berita acara pemeriksaan yang mencatat penerimaan Ima sebesar Rp 300 juta dari Agam, yang juga diyakini oleh Ima.

Ima juga mengaku tidak pernah menanyakan asal uang tersebut, meskipun gaji Agam dalam bentuk rupiah. Agam selalu menuturkan bahwa uang tersebut merupakan rejeki atau hasil bantuan kerjaan dari teman-temannya.

Selain itu, Ima pernah menggeledah apartemen Agam karena masalah keluarga dan menemukan uang dalam dolar AS yang hampir mencapai Rp 2 miliar. Uang tersebut diambilnya setelah dipecah menjadi rekening koran, dengan total lebih sedikit dari Rp 2 miliar.

Majelis hakim yang pernah menjatuhkan putusan lepas terhadap terdakwa korporasi migor diketuai oleh hakim Djuyamto, dengan anggota Agam dan Ali Muhtarom. Jaksa menduga bahwa mereka menerima suap dan gratifikasi bersama terkait putusan tersebut, dengan total uang suap yang diduga mencapai Rp 40 miliar. Uang tersebut diduga berasal dari pengacara mereka, yaitu Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei.

Uang suap tersebut dibagi antara Djuyamto, Agam, Ali, eks Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, dan mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan. Menurut surat dakwaan jaksa, Arif diduga menerima Rp 15,7 miliar, Wahyu Rp 2,4 miliar, Djuyamto Rp 9,5 miliar, sedangkan Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar.

Kasus ini mengungkapkan betapa pentingnya transparansi dalam keputusan hukum, terutama dalam kasus yang melibatkan korporasi besar. Hal ini juga menegaskan bahwa korupsi di lingkungan peradilan tidak hanya melibatkan pewaris kasus, tetapi juga pihak-pihak terkait yang dapat memanfaatkan posisi mereka untuk keuntungan pribadi. Contoh ini menjadi peringatan bahwa sistem keadilan harus selalu diperkuat agar tidak terjadi kesenjangan dan penyalahgunaan wewenang.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan