Obesitas kini menjadi permasalahan serius di kalangan anak-anak di seluruh dunia. Data terbaru dari UNICEF memperlihatkan bahwa setidaknya satu dari sepuluh anak di planet ini mengalami kondisi obesitas. Masalah ini tidak hanya dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan tentang gizi di rumah, namun juga oleh kemudahan akses dan harga yang lebih terjangkau dari makanan olahan ultra (Ultra Processed Food/UPF) dibandingkan buah dan sayuran.
Situasi yang serupa juga terjadi di Indonesia. Wakil Menteri Kesehatan, Dante Saksono Harbuwono, menyebut bahwa negara kita sedang menghadapi kondisi yang disebut double burden. Hal ini berarti anak-anak tidak hanya berisiko mengalami kekurangan gizi yang bisa menyebabkan stunting, tetapi juga risiko obesitas. Bahkan, di kawasan perkotaan, prevalensi obesitas pada anak cukup tinggi.
“Kita sedang menghadapi double burden, di satu sisi ada kekurangan gizi yang menyebabkan stunting, di sisi lain, anak-anak mengalami obesitas,” kata Dante saat dihubungi pada ASEAN Car Free Day di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (24/9/2025).
Obesitas pada anak bukan hanya soal berat badan berlebih, melainkan kondisi di mana lemak tubuh menumpuk sehingga dapat merugikan kesehatan. Untuk mendiagnosisnya, metode yang digunakan berbeda dengan dewasa. Sementara dewasa cukup menggunakan Indeks Massa Tubuh (IMT), anak-anak diakui berdasarkan grafik pertumbuhan yang disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), anak usia 5-19 tahun dianggap obesitas jika IMT-nya di atas persentil 97 dibandingkan teman sebayanya. Jika berat badan dan tinggi badan seorang anak jauh lebih tinggi daripada sebagian besar anak lainnya, kemungkinan besar ia termasuk dalam kategori obesitas.
Beberapa negara telah berhasil mengurangi angka obesitas anak melalui kebijakan yang ketat. Meksiko, misalnya, sejak 2014 mengenakan pajak 10% pada minuman manis. Jurnal BMC Public Health mencatat bahwa kebijakan ini berhasil menurunkan konsumsi minuman berpemanis hingga 7,6% dalam dua tahun.
Inggris menerapkan kebijakan Universal Infant Free School Meal, yang menyediakan makan siang gratis untuk anak usia empat hingga tujuh tahun di sekolah dasar sejak 2014. Menu yang disajikan mengandung gizi seimbang dan membatasi kalori tinggi. Selain itu, negara tersebut juga menerapkan Soft Drinks Industry Levy pada 2018, yang mendorong produsen untuk mereformulasi minuman agar kadar gula lebih rendah. Hasilnya, kadar gula pada minuman ringan berkurang rata-rata 29% dalam tiga tahun.
Chile mengambil langkah lebih progresif dengan mewajibkan label peringatan hitam di depan kemasan produk tinggi gula, garam, dan lemak. Studi di Jurnal Nutrients tahun 2025 menunjukkan kebijakan ini berhasil menurunkan konsumsi minuman berpemanis anak sebesar 23,7% dalam 18 bulan pertama, ditambah larangan iklan junk food di jam tayang anak.
Singapura juga menjadi contoh dengan program Healthier Choice Symbol, yang memberikan label khusus pada produk sehat dan Nutri-grade Label untuk minuman manis. Pemerintah larang iklan minuman berpemanis sejak 2020 dan aktif memberdayakan edukasi gaya hidup sehat di sekolah. Keterlibatan komunitas, sekolah, dan orang tua dalam program pemerintah Singapura menjadi kunci suksesnya. Laporan Ministry of Health Singapura tahun 2022 menunjukkan kebijakan ini berhasil menahan peningkatan obesitas anak.
Korea Selatan juga menunjukkan langkah strategis dengan melarang iklan junk food di jam tayang anak sejak 2010 dan memperkenalkan Green Food Zones, area 200 meter di sekitar sekolah di mana penjualan makanan tinggi gula, garam, dan lemak dilarang. Jepang, dengan pendidikan gizi nasional (Shokuiku) sejak 2005, memastikan setiap sekolah dasar dan menengah menyediakan menu sehat untuk makan siang sesuai standar gizi nasional.
Indonesia juga telah melakukan upaya untuk mengatasi obesitas anak. Program Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) mengajak masyarakat untuk lebih aktif berolahraga, mengonsumsi buah dan sayur, serta melakukan pemeriksaan kesehatan. Program Usaha Kesehatan Sekolah/Madrasah (UKS/M) di sekolah menjadi wadah untuk edukasi gizi, olahraga, dan pemeriksaan kesehatan. KEMENKES juga mengembangkan Kantin Sehat di sekolah agar anak tidak terbiasa dengan makanan tinggi gula, garam, dan lemak. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2021-2025 pun secara eksplisit menetapkan target penurunan prevalensi obesitas anak melalui perbaikan pola makan, peningkatan aktivitas fisik, dan pembatasan pemasaran makanan tidak sehat. Namun, data riset terbaru menunjukkan prevalensi obesitas anak di Indonesia belum menurun secara signifikan, sehingga implementasi kebijakan ini dinilai belum sekuat negara lain.
Indonesia bisa mempelajari berbagai negara yang berhasil mengatasi obesitas anak. Meksiko dan Inggris berhasil menekan konsumsi gula dengan pajak minuman berpemanis. Dante Saksono Harbuwono mencatat bahwa regulasi sugar tax untuk makanan dan minuman manis sedang dibahas. “Kami sedang membuat regulasi untuk sugar tax pada makanan. Pajak ini akan dikenakan pada sejumlah tertentu gula yang ada. Namun, masih dalam pembahasan,” katanya.
Pengalaman Chile membuktikan bahwa label gizi yang jelas di depan kemasan sangat membantu orang tua dalam memilih makanan sehat. Saat ini, di Indonesia, label gula, garam, dan lemak (GGL) berada di belakang kemasan, kecil, dan sulit dipahami. Oleh karena itu, diperlukan front of pack label, yaitu informasi sederhana tentang nutrisi makanan di depan kemasan.
Dari Korea Selatan, Indonesia bisa belajar pentingnya pembatasan iklan dan penjualan junk food di sekitar sekolah. Sementara Jepang memberi teladan lewat program makan siang sekolah yang konsisten menanamkan kebiasaan makan sehat sejak kecil. Program Kantin Sehat dan Makan Bergizi Gratis (MBG) sudah ada di Indonesia, hanya perlu peningkatan monitoring pelaksanaan.
Singapura memperlihatkan bahwa kampanye nasional terintegrasi, melibatkan sekolah, industri, dan masyarakat, mampu mengubah perilaku konsumsi secara bertahap. Jika Indonesia mampu menggabungkan regulasi ketat dengan edukasi dan pengawasan di sekolah, peluang menekan angka obesitas anak akan jauh lebih besar.
Setiap negara memiliki strategi yang berbeda dalam mengatasi obesitas anak, namun kesuksesan mereka menunjukkan bahwa kombinasi regulasi ketat dan edukasi gizi sejak dini adalah kunci. Indonesia perlu mengadopsi kebijakan yang efektif dan memantau pelaksanaan dengan ketat. Hanya dengan demikian, kami bisa menjaga kesehatan anak-anak generasi berikutnya.
Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.