Anak-Anak Penusuk Ayah Lumpuh di Surabaya dan Mencederai Matanya

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Dua beradik, salah satu perempuan berusia empat tahun dan laki-laki berusia tujuh tahun di Surabaya, Jawa Timur, telah berhenti sekolah selama setahun untuk merawat ayah mereka yang kumuh pada kedua kakinya. Namun, keduanya justru mengalami kekerasan sehingga mata mereka berdarah.

Camat Tenggilis, Wawan Windarto, mengungkapkan bahwa anak-anak tersebut telah dievakuasi oleh Pemkot Surabaya. Mereka berhenti bersekolah selama satu tahun karena terpaksa merawat ayah mereka. Diduga, keduanya mengalami kekerasan dari ayah mereka sendiri.

“Pintasnya, tujuan utama kita adalah melindungi anak-anak tersebut agar dapat mendapatkan perawatan yang terbaik, termasuk hak untuk bersekolah,” kata Wawan, seperti dilansir detikJatim, Jumat (12/9/2025).

Selama proses evakuasi, ayah mereka, yang berinisial BS (60 tahun), dibawa ke Rumah Sakit Menur untuk mendapat perawatan. Diduga, ia mengalami komplikasi penyakit tambahan setelah jatuh dari dalam kamar mandi.

“Kami sudah bekerja sama dengan DP3APPKB (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana) dan Dinsos (Dinas Sosial). Anak-anak tersebut akan diserahkan ke Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA),” jelasnya.

Kepala Puskesmas Tenggilis, dr. Heni Agustina, mengonfirmasi bahwa kedua anak tersebut menerima kekerasan dari ayah mereka. Hasil pemantauan kesehatan terhadap BS pada Senin (8/9) menunjukkan adanya lebam dan luka pada mata anak laki-laki. BS sendiri mengaku telah memukul anak-anak tersebut menggunakan rotan.

“Saya tanya, ‘Pak, mengapa matanya berdarah? Kenapa sampai seperti ini? Jika infeksi biasa, tidak mungkin begitu.’ Lalu dia menjawab, ‘Benar, Bu, beberapa hari yang lalu saya emosional, marah, akhirnya saya memukul mereka dengan rotan hingga kena matanya.’ Namun, jika dilempar dari jarak jauh, tidak mungkin luka seperti itu. Mungkin dia memukul dari jarak dekat,” jelas dr. Heni.

Sementara itu, Ketua RT 01 setempat, Sunoko, mengisahkan bahwa BS sering melakukannya telah mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Bahkan, istrinya melarikan diri seminggu setelah melahirkan anak terakhir mereka. Selain itu, anak pertama BS, berinisial BE (16 tahun), melarikan diri enam bulan yang lalu ke panti asuhan di bawah naungan gereja. Anak pertama itu sebelumnya sudah mengadu kepada warga tentang tidak tahan dengan kekerasan dari ayahnya.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga, terutama yang melibatkan anak-anak, memang bisa terjadi di mana saja. Data dari Lembaga Perlindungan Anak menunjukkan bahwa kasus KDRT yang melibatkan anak-anak terus meningkat setiap tahun. Ketika Anak-anak menjadi korban, dampaknya tidak hanya fisik tetapi juga psikologis.

Menyikapi peristiwa ini, pemerintah dan masyarakat perlu lebih proaktif dalam memberikan perlindungan dan dukungan kepada korban kekerasan. Pendidikan dan kesadaran tentang hak anak juga perlu ditingkatkan agar setiap anak dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan sehat.

Kasus ini juga mengingatkan kita tentang pentingnya pelaporan cepat. Jika terjadi KDRT, sebaiknya melaporkan kepada instansi terkait seperti DP3APPKB atau Lembaga Perlindungan Anak. Tidak hanya anak-anak, tetapi semua anggota keluarga yang menjadi korban kekerasan harus dilindungi dan diberi perhatian.

Dalam situasi seperti ini, dukungan dari masyarakat juga sangat berarti. Jika ada tanda-tanda kekerasan dalam keluarga tetangga, timbulkan keberanian untuk campur tangan atau melaporkan. Ingat, setiap nyawa anak adalah harta yang berharga dan harus dilindungi.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan