Perusahaan Pindar Kompak Menolak Dugaan Kolusi: Tidak Pernah Ada Perjanjian

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menghadiri persidangan terkait Perkara Nomor 05/KPPU-I/2025, yang memfokuskan pada dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam konteks layanan pinjaman uang berbasis teknologi informasi (Fintech P2P Lending) di Indonesia. Sidang ini diadakan di Kantor Pusat KPPU, Jakarta, pada hari Kamis (11/9/2025). Kasus ini timbul dari tuduhan pelanggaran kesepakatan yang melibatkan bunga pinjaman online (pinjol) dengan batas tertinggi sebesar 0,8% dan 0,4%.

Selama sidang, Ryan Filbert, Direktur Utama PT Bursa Akselerasi Indonesia (Indofund), menolak tuduhan terkait adanya kesepakatan penetapan bunga pinjaman. Menurutnya, perusahaannya tidak pernah membuat perjanjian dengan Asosiasi Fintech dan Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Ia mengaku bahwa keanggotaan dalam asosiasi tersebut hanya berupa sertifikat dan tidak melibatkan perjanjian formal. “Kita dengan AFPI tidak pernah ada tanda tangan antara kedua belah pihak atau perjanjian,” ujar Ryan setelah sidang di Kantor KPPU, Kamis (11/9/2025).

Ryan juga menjelaskan bahwa perusahaannya tergabung dalam AFPI karena diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika bisa memilih, ia akan memilih asosiasi lain. “Sertifikat keanggotaan AFPI yang menjadi problem, dianggap sebagai bukti kesepakatan. Jika kita tidak mengambil sertifikat tersebut, izin kami akan dicabut OJK. Ini ada dalam POJK,” tambahnya.

Sementara itu, kuasa hukum PT Amartha Mikro Fintek (Amartha), Harry Rizki Perdana, menyangkal adanya kesepakatan bunga pinjaman dengan AFPI. Menurutnya, perusahaan tersebut tidak pernah menentukan bunga pinjaman melebihi 0,1% per hari atau sekitar 2% per bulan. “Tuduhan investigator KPPU dalam laporan dugaan pelanggaran (LDP) sangat jauh dari kenyataan. Kami menolak pemahaman bahwa pedoman perilaku dan keanggotaan AFPI merupakan perjanjian,” ujar Harry.

Harry juga menyatakan penolakan terhadap seluruh tuntutan KPPU dan menginginkan penolakan terhadap tuduhan tersebut. Menurutnya, tidak ada bukti yang cukup untuk membuktikan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. “Kami menolak seluruh LDP dan menyatakan bahwa pelaku usaha yang dituduh seharusnya dilepaskan, karena tidak ada bukti yang mendukung adanya kartel atau pelanggaran Pasal 5,” penutupnya.

Data riset terbaru menunjukkan bahwa industri fintech P2P lending di Indonesia terus berkembang pesat, tetapi regulasi terkait masih menjadi perhatian utama. Studi yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Keuangan (LPPK) menunjukkan bahwa 60% pelaku usaha fintech P2P lending mengaku mengalami kesulitan dalam memahami regulasi yang berlaku. Hal ini menimbulkan tantangan dalam menjaga ketertiban pasar dan perlindungan konsumen.

Analisis unik dan simplifikasi menunjukkan bahwa adanya perbedaan pendapat antara KPPU dan pelaku usaha fintech P2P lending mengungkapkan kekhawatiran tentang transparansi dan kerangka hukum yang masih diperdebatkan. Penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam menetapkan aturan yang jelas dan adil, agar industri ini dapat berkembang secara sehat.

Kesimpulan selalu ada jalan keluar dalam setiap permasalahan, dan diskusi yang konstruktif antara regulator dan pelaku usaha adalah kunci untuk menentukan solusi yang memuaskan. Dengan kerja sama yang efektif, industri fintech P2P lending di Indonesia dapat terus berkembang tanpa melanggar peraturan yang berlaku.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan