Pemberdayaan Daerah dalam Menangani Ketimpangan Desentralisasi Menurut Anggota BP MPR

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Firman Subagyo, anggota Badan Pengkajian dari Fraksi Partai Golkar di MPR RI, mengungkapkan betapa krusialnya memperkuat hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka desentralisasi yang adil serta berkelanjutan. Keterangan tersebut disampaikannya dalam Diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia yang berlangsung di Ruang PPIP, Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Dalam diskusi yang membahas “Hubungan Pusat dan Daerah (Optimalisasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah)”, Firman menegaskan bahwa meskipun otonomi daerah telah memberikan peluang bagi percepatan pembangunan dan partisipasi masyarakat, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala, seperti ketimpangan fiskal, kesenjangan sumber daya manusia, hingga peraturan yang bertumpang tindih.

“Banyak peraturan pusat yang justru mengurangi wewenang daerah, padahal tujuan awal otonomi daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian wilayah,” katanya pada Rabu, 9 September 2025.

Dalam paparannya, Firman menyatakan bahwa beberapa daerah, terutama di wilayah timur seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Papua, masih ketinggalan dalam pembangunan dan infrastruktur, meski kaya akan sumber daya alam. Ia mengutip NTT yang berpotensi menjadi lumbung garam nasional, peternakan, dan sorgum untuk mendukung swasembada pangan, namun belum mendapatkan dukungan yang serius dari pemerintah pusat.

Selain itu, Firman mengkritik koordinasi antar tingkat pemerintahan yang lemah, khususnya antara gubernur dengan bupati atau walikota. “Gubernur sebagai wakil pusat sering tidak dihormati oleh kepala daerah kabupaten atau kota. Bahkan saat dijadwalkan rapat, banyak bupati yang tidak hadir karena merasa tidak terikat dengan gubernur. Ini perlu segera diperbaiki,” tegasnya.

Firman juga menyoroti ketergantungan fiskal daerah terhadap dana transfer pusat, yang membuat kepala daerah terpaksa mencari pendapatan alternatif, termasuk dengan menaikkan pajak. Namun, hal ini dapat memicu gejolak sosial, seperti yang terjadi di Kabupaten Pati.

“Harus dihindari supaya gejolak di satu daerah tidak menular dan mengganggu stabilitas politik nasional. Pemerintah pusat harus bijaksana dan responsif terhadap dinamika di daerah,” ujarnya.

Firman juga menekankan perbaikan terhadap posisi DPRD dalam UU Nomor 23 Tahun 2014, yang menempatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah dan mitra sejajar dengan kepala daerah. Selain itu, ia berharap pemerintah pusat tidak hanya membuat kebijakan seperti digitalisasi layanan, tetapi juga mempertimbangkan kesiapan dan kenyataan di lapangan, terutama di daerah terpencil.

Dedi Iskandar Batubara, anggota Badan Pengkajian MPR RI dan Senator DPD RI, juga menggarisbawahi melemahnya praktik desentralisasi di Indonesia. Menurutnya, semangat otonomi daerah semakin terkurang karena adanya regulasi yang mengembalikan kewenangan ke pusat.

Desentralisasi, katanya, memiliki tiga tujuan utama: politik, ekonomi, dan administratif. Namun, sekarang justru daerah kehilangan kesempatan untuk mengelola sumber daya alam dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. “Daerah yang kaya akan sumber daya, seperti tambang nikel atau batubara, masih mengalami kemiskinan yang tinggi. Kekayaan mereka mengalir ke pusat, sementara masyarakat setempat tetap miskin,” ujarnya.

Dedi merekomendasikan empat langkah yang harus segera dilakukan pemerintah. Pertama, pusat lebih aktif melibatkan daerah dalam pembuatan kebijakan. Kedua, memberikan wewenang lebih luas kepada daerah dalam pengelolaan potensi dan sumber daya. Terakhir, mengurangi disparitas ekonomi antar wilayah dengan dukungan khusus dari pusat.

“Jika mekanisme politik tetap sentralistik, kepala daerah akan sibuk mencari dukungan dari pusat, bukan mengurus wilayahnya sendiri. Padahal, otonomi harus memberikan ruang bagi daerah untuk berkembang,” katanya.

Peneliti politik utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Siti Zuhro, menuliskan Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai bukti bagaimana kewenangan strategis daerah—mulai pengelolaan sumber daya alam hingga tata kelola ekonomi—kembali diambil alih oleh Jakarta. Dalam dua dekade terakhir, pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah hampir tidak berjalan, terbukti dengan lebih dari 430 kepala daerah terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi.

“Jika pengawasan efektif, tidak mungkin angka OTT kepala daerah bisa setinggi itu. Kekurangan mendasar negeri ini ada di pengawasan,” tutupnya. Zuhro memperingatkan bahwa kebijakan seragam dari pusat berisiko mengabaikan keragaman. Kabupaten maju, sedang, dan tertinggal dipaksa mengikuti pedoman yang sama. “NKRI ini unik dengan 415 kabupaten dan puluhan provinsi. Kebijakan seragam justru tidak produktif. Daerah maju tidak bisa diperlakukan sama dengan daerah terbelakang,” imbuhnya.

Zuhro mengingatkan bahwa tanpa pemetaan lengkap terhadap kondisi daerah, kebijakan pusat berisiko salah sasaran. Ia mengutip Jakarta yang tetap menerima alokasi besar, sementara daerah perbatasan tertinggal.

Desentralisasi yang efektif tidak hanya tentang pemberian wewenang, tetapi juga dukungan teknis dan fiskal yang tepat sasaran. Daerah memerlukan kebijakan yang mengakui keragaman dan potensi masing-masing. Dengan demikian, otonomi daerah bisa menjadi katalisator pertumbuhan yang berkelanjutan, bukan hanya sekadar salam kosong dalam sistem pemerintahan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan