Penciptaan Kode Unik ‘Mendan’ dan ‘DJ’ dalam Putusan Kasus Korupsi Onslag Migor

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Diketahui beberapa kode misterius seperti ‘mendan’ dan ‘DJ’ muncul dalam proses sidang kasus dugaan suap yang terkait dengan vonis lepas perkara minyak goreng (migor). Kode ‘DJ’ digunakan untuk merujuk kepada ketua majelis hakim yang memutuskan keputusan pembebasan tersebut.

Ketika pengacara Marcella Santoso, mewakili pihak korporasi migor, hadir sebagai saksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/9/2025), detail mengenai komunikasi ini menjadi poin utama pemeriksaan. Dalam sidang tersebut, terlibat terdakwa seperti eks Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta, mantan Panitera Muda Perdata Wahyu Gunawan, hakim Djuyamto, hakim Agam Syarief Baharudin, dan hakim Ali Muhtarom.

Jaksa meneliti dengan teliti tanggapan Marcella setelah vonis lepas perkara migor diumumkan. Pertanyaan utamanya berfokus pada makna pesan yang mengandung salam hormat kepada ‘mendan’ dan ‘DJ’. Marcella menjelaskan bahwa ia sangat terharu ketika putusan dibacakan, karena hasilnya sesuai dengan harapannya—tidak hanya pembebasan, tetapi juga ontslag yang diharapkan.

“Tadi saya sudah sampaikan pak, ada kata-kata, satu akan diputus melebihi rentut, dua jangan harap klien bisa jual migor lagi, minyak goreng lagi. Saya hari itu sangat terharu sekali mendapat kabar bahwa putusannya bukan bebas yang seperti saya harap, tetapi ontslag. Meskipun saya merasa kalau ontslag ada kesalahan, kesalahannya di mana ya, tapi saya ya sudah,” ungkap Marcella.

Marcella menjelaskan bahwa ‘mendan’ merujuk kepada teman suaminya, Ariyanto Bakri, yang secara informal dipanggil Muhammad Arif Nuryanta. Sementara ‘DJ’ adalah sebutan yang digunakan Ari untuk ketua majelis hakim, yakni hakim Djuyamto.

“Saya sampaikan salam hormat untuk mendan karena di dalam pengertian saya, mendan ini temannya Ari yang baru tadi dia kenal yang katanya dia bakal panggilin dan disuruh putus, hukum itu, dia sudah menjaga pak, karena selalu ada kata-kata jangan harap klien saudara bisa jual migor lagi,” tambahnya. Ia juga menekankan bahwa ia hanya merasa bergembira karena putusan tersebut sesuai dengan prosedur.

Dalam kasus ini, majelis hakim yang mengeluarkan vonis lepas terhadap korporasi migor dipimpin oleh hakim Djuyamto, dengan anggota Agam Syarief Baharudin dan Ali Muhtarom. Jaksa menduga bahwa ketiga hakim tersebut menerima suap dan gratifikasi bersama-sama terkait putusan pembebasan, dengan total uang suap yang diduga mencapai Rp 40 miliar. Uang tersebut dipercaya disalurkan oleh Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei, pengacara para terdakwa.

Menurut surat dakwaan, dari Rp 40 miliar tersebut, Arif didakwa menerima Rp 15,7 miliar, Wahyu Rp 2,4 miliar, Djuyamto Rp 9,5 miliar, sementara Agam dan Ali masing-masing menerima Rp 6,2 miliar. Kasus ini menunjukkan kompleksitas dan kerumitan dalam peradilan korupsi, terutama terkait dengan pelanggaran etika dan ketertiban di lingkungan hukum.

Kasus ini mengingatkan masyarakat akan pentingnya transparansi dan integritas dalam sistem peradilan. Setiap putusan harus didasarkan pada bukti dan prosedur yang benar, bukan pada pemberian suap atau pengaruh luar. Meskipun proses hukum masih berlangsung, kasus ini sudah menimbulkan keraguan umum terhadap keadilan dan keabsahan putusan yang dijatuhkan. Semoga pelaku korupsi dapat diadili dengan adil dan tepat, serta sistem peradilan tetap bebas dari pengaruh yang tidak sehat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan