Annisa Resmana, Penulis dari Tasikmalaya yang Memupuk Literasi ke Panggung Dunia

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Annisa memiliki perjalanan hidup yang luar biasa. Dia dibesarkan di antara buku-buku, nada piano, dan kritik yang selalu ia ungkapkan langsung. Sejak kecil, Annisa telah menghadapi dua jalur yang berbeda: ketatnya dunia akademik dan keindahan seni yang fleksibel.

Dia masih ingat dengan jelas, pada tahun 2000 saat kelas dua SD, wali kelasnya memberi hadiah buku dari seri Chicken Soup. “Nilai math ku tak memuaskan, tapi wali kelas memberikan buku tersebut. Keesokan harinya, aku bisa menjelaskan hampir seluruh isi buku itu,” teringatnya dengan senyum lembut. Saat itu pula, Annisa sadar bahwa dirinya lebih dekat dengan kata-kata daripada angka.

Pada tahun 2003, ayahnya membeli komputer untuk rumah. Mulai saat itu, Annisa mulai menulis cerita panjang dengan penuh antusias. Novel sepanjang sebelas bab pun berhasil ditulis, namun hilang karena file di disket rusak. “Di situ aku merasa, novel memang berbeda: perlu konsistensi,” ujarnya.

Ketika pindah ke Tasikmalaya dan bersekolah di SMP swasta berbasis keislaman (2002–2005), Annisa mulai lebih berani mengungkapkan pendapat kritisnya. Dia sering mempertanyakan ajaran yang menurutnya “kering”—banyak kata tapi sedikit isi. Sikap ini sering dianggap sebagai pembangkangan, namun bagi Annisa, belajar sebenarnya dimulai dengan mengejar kebenaran.

Di masa SMA (2005–2008) di Tasikmalaya, dunia seni dan sastra menjadi lebih dekat. Dia mulai sering mengikuti lomba menulis, membacakan puisi, menulis bebas, hingga meresensi karya lain. Pertemuan dengan penyair, sutradara teater, dan sastrawan di Tasikmalaya menjadi fondasi kuat bagi perkembangan literasinya.

Perjalanan akademik Annisa kemudian membawa dia ke Bandung, kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan. Keputusan ini tidak tanpa kontroversi. “Banyak yang menasihati ku untuk menjaga integritas, karena aku berlatarsurat pendidikan Islam lalu melanjutkan ke kampus Katolik,” katanya.

Tetapi Annisa tidak terikat oleh batasan identitas. Di Unpar, dia membuktikan diri dengan lulus cum laude. Tesisnya membahas pilar kelima poros maritim dunia melalui penguatan TNI AL, Bakamla, dan Polair.


Menurut riset terbaru, harapan hidup yang kuat dan konsisten dalam mengembangkan bakat sejak dini memang menjadi kunci sukses. Studi menunjukkan bahwa individu dengan latar belakang pendidikan yang beragam justru memiliki kemampuan adaptasi yang lebih tinggi. Kasus Annisa menunjukan bahwa kombinasi antara ketekunan akademik dan ketekunan seni dapat menciptakan karakter yang unggul.

Visualisasi perjalanan Annisa dapat dilihat dalam infografis berikut, yang menunjukkan bagaimana dia mengelola waktu antara akademik dan seni:

  1. Fase Awal (2000–2003): Buku Chicken Soup menjadi pengaruh awal.
  2. Pertumbuhan (2003–2008): Mulai menulis novel dan aktif dalam dunia seni.
  3. Percobaan (2008–2012): Mempertanyakan ajaran dan menjelajahi identitas.
  4. Puncak (2012–sekarang): Sukses di Unpar dengan predikat cum laude.

Kesimpulan: Annisa menunjukkan bahwa identitas dan bakat bukanlah rintangan, melainkan peluang untuk berkembang. Jika Anda ingin mencapai mimpimu, jangan takut untuk memecahkan batasan dan terus berusaha.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan