Dosen FISIP Unsil Kota Tasikmalaya Menilai Kecacatan dalam Praktik Demokrasi Perwakilan di Indonesia

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Di Tasikmalaya, Dr. M. Ali Andrias SIP MSi, pengamat politik dari FISIP Universitas Siliwangi, mengungkapkan bahwa sistem demokrasi perwakilan di Indonesia sedang mengalami kerusakan parah. Hal ini disebabkan oleh jarak yang semakin jauh antara wakil rakyat dengan masyarakat.

Ali menarik perhatian pada kasus ketika warga terpaksa menghancurkan pintu rapat atau merobohkan tembok gedung dewan untuk mendapatkan kesempatan berbahas, namun perhatian media justru tertuju pada kerusakan fisik tersebut.

“Sejati, masalahnya terletak pada kerusakan mekanisme demokrasi,” katanya pada Selasa, 2 September 2025.

Menurut analisis Ali, kinerja legislator periode 2024–2029 belum optimal dalam mempertahankan kepentingan masyarakat. Tiga undang-undang yang baru saja disahkan—UU BUMN, UU Minerba, dan UU TNI—ditudukkan tanpa partisipasi yang sebenarnya dari masyarakat.

“Pemilu 2024 bisa disebut sebagai pemilu dengan tingkat kekerasan tertinggi. Pemilihan ini dipenuhi dengan politik uang yang berlebihan, kampanye yang mengandalkan trik pemasar, dan banyak kasus pelanggaran aturan,” tulisnya tegas.

Ali juga mengkritik bahwa partisipasi masyarakat saat ini hanya menjadi formalitas melalui sosialisasi atau konsultasi yang tidak interaktif. Pengalaman langsung warga yang terdampak lebih berharga dibandingkan dengan ratusan ahli yang memiliki gelar akademis. Selain itu, DPR jarang mengangkat isu penting seperti tunjangan, pajak, dan harga kebutuhan pokok.

“Masyarakat Tasikmalaya butuh wakil yang berjuang, agar kita tidak terus mengalami beban pajak yang tidak adil,” ungkapnya.

Ali menegaskan bahwa DPR lebih mewakili kepentingan partai daripada rakyat. “Mereka berpihak pada partai. Ketika mengambil keputusan, mereka bekerja sama berdasarkan aliansi partai. Walaupun ada wakil dari Tasikmalaya, mereka tidak bersatu untuk mewakili aspirasi Tasik. Mereka disebut kartel,” tambahnya.

Dominasi partai besar, menurutnya, membuat suara perlawanan dari partai kecil atau masyarakat justru tersembunyi.

Keputusan tentang tunjangan yang saat ini menjadi isu demonstrasi pun tidak mendapatkan kritik yang signifikan dari anggota DPR. Minimnya sikap kritis juga terlihat dalam isu tunjangan DPR. “Mereka menikmati berbagai macam tunjangan, mulai dari rumah, beras, dan lain-lain. Padahal, pembatalan beberapa tunjangan sudah diumumkan oleh presiden, bukan oleh Puan Maharani sebagai ketua DPR RI,” ucap Ali.

Situasi ini menggambarkan sempitnya ruang gerak wakil rakyat di DPR, termasuk dari Dapil Jawa Barat XI yang mencakup Kota dan Kabupaten Tasikmalaya, serta Garut. Ada 10 nama anggota DPR dari partai PKB, Gerindra, PDIP, Golkar, PKS, PAN, dan Nasdem, namun publik merasa aspirasi warga sering tak terwujud karena tertanam dalam kepentingan partai.

Demokrasi perwakilan di Indonesia sedang menghadapi tantangan serius. Wakil rakyat perlu kembali berfokus pada kepentingan masyarakat, bukannya kepentingan partai atau kelompok sempit. Hanya dengan demikian, sistem demokrasi dapat berfungsi dengan optimal dan mewakili aspirasi rakyat secara sebenarnya.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan