Momen Krisis Politik Thailand Selepas Pengunduran PM Paetongtarn

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pada hari Jumat tanggal 29 Agustus, Paetongtarn Shinawatra, Perdana Menteri Thailand berusia 39 tahun, resmi dipecat oleh Mahkamah Konstitusi. Keputusan ini diambil setelah dia dinyatakan melanggar etika. Paetongtarn, yang merupakan putri mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra dan keponakan Yingluck Shinawatra, juga memegang jabatan sebagai ketua Partai Pheu Thai. Partai ini menjadi sorotan ketika membentuk pemerintahan bersama kubu pro-militer pada tahun 2023, sebuah langkah yang menuai kontroversi.

Pada awal Juli, Paetongtarn diusir dari jabatan setelah rekaman percakapan teleponnya dengan Hun Sen, mantan pemimpin Kamboja, bocor ke publik. Dalam percakapan tersebut, dia memanggil Hun Sen sebagai “paman” dan mengungkapkan rasa hormat serta kritik kepada komandan militer sendiri. Hal ini terjadi saat terjadi konflik perbatasan yang mengakibatkan korban jiwa. Paetongtarn kemudian menjelaskan bahwa pernyatan tersebut hanya merupakan upaya negosiasi untuk mencegah pertempuran lebih lanjut dan melindungi nyawa rakyat.

“Saya tetap berkomitmen untuk bekerja demi kemajuan rakyat Thailand. Prioritas utama saya adalah melindungi nyawa, baik para tentara maupun warga sipil,” ujar Paetongtarn setelah keputusan pengadilan diumumkan. Meskipun begitu, dia menerima putusan tersebut dengan hormat.

Skandal telepon dengan Hun Sen telah mengungkapkan keretakan dalam dunia politik Thailand. Partai Bhumjaithai, salah satu partai konservatif, telah mengundurkan diri dari koalisi pemerintahan, meninggalkan Pheu Thai dengan mayoritas yang tipis. Hal ini menimbulkan ketakutan akan potensi kudeta militer lagi. Phumtham Wechayachai, Wakil Perdana Menteri, saat ini menjabat sebagai pelaksana tugas perdana menteri dan berharap parlemen dapat segera memilih pengganti Paetongtarn.

Di antara calon pengganti yang diusulkan adalah Chaikasem Nitisir, pengacara berusia 77 tahun yang pernah menjabat sebagai menteri kehakiman pada 2013. Calon lain yang mungkin dilirik adalah Anutin Charnvirakul dan Prayuth Chan-ocha, yang terakhir menjabat sebagai kepala pemerintahan setelah kudeta militer pada 2014. Jika parlemen tidak berhasil memilih pengganti, opsi lain adalah menggelar mosi tidak percaya dan membubarkan parlemen, yang akan memaksa pemilihan umum cepat.

Napon Jatusripitak, ilmuwan politik dari ISEAS–Yusof Ishak Institute, mengamati bahwa pencopotan Paetongtarn memberikan dampak besar bagi Partai Pheu Thai. “Partai ini akan menghadapi tantangan dalam memilih kandidat perdana menteri untuk pemilu berikutnya. Hal ini juga bisa memicu perpecahan internal jika tidak ada dukungan yang kuat terhadap calon yang tersisa,” katanya. Ia juga menambahkan bahwa koalisi dengan lawan konservatif pada 2023 telah mengorbankan komitmen ideologis partai dan gagal menunaikan janji kebijakan.

Kelompok analis juga mempertanyakan apakah skandal ini menandai akhir dari pengaruh dinastis Shinawatra dalam politik Thailand. Thitinan Pongsudhirak, profesor ilmu politik dari Universitas Chulalongkorn Bangkok, menyatakan bahwa keluarga Shinawatra telah mengalami kemunduran dalam beberapa tahun terakhir. “Dengan percakapan telepon yang bocor, kemungkinan mereka tidak lagi menjadi kekuatan utama dalam dunia politik,” ujarnya. Namun, Thaksin Shinawatra, mantan perdana menteri miliarder dan ayah Paetongtarn, baru saja memenangkan kasus pengadilan yang mengancam 15 tahun penjara karena tuduhan penghinaan monarki, menunjukkan ada kemungkinan mereka masih memiliki daya juang.

Thailand saat ini menghadapi masa ketidakpastian politik yang menyulitkan. Keberhasilan Pheu Thai dalam memilih pengganti yang tepat dan mengukuhkan koalisi akan menjadi kunci untuk memastikan stabilitas pemerintahan. Sementara itu, dinasti Shinawatra masih perlu menunjukkan bahwa mereka masih relevan dalam aren politik yang terus berubah.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan