RI Catat Surplus Dagang dengan Amerika Serikat Sebesar US$ 10,5 Miliar pada Juli

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa neraca perdagangan barang Indonesia selama periode Januari hingga Juli 2025 mencatat surplus sebesar US$ 23,65 miliar. Kinerja ini melanjutkan tren surplus selama 63 bulan berturut-turut.

Penyumbang utama surplus adalah komoditas non migas dengan nilai US$ 34,06 miliar, sedangkan sektor migas masih mengalami defisit sebesar US$ 10,41 miliar, seperti yang diungkapkan oleh Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, dalam konferensi pers virtual pada hari Senin (1/9/2025).

Penyumbang surplus terbesar berasal dari Amerika Serikat (AS) dengan nilai US$ 10,49 miliar, diikuti oleh India sebesar US$ 8,09 miliar, dan Filipina sebesar US$ 5,11 miliar. Surplus ini terjadi sebelum penerapan tarif 19% oleh Presiden AS, Donald Trump, yang mulai diberlakukan pada 7 Agustus 2025.

Selanjutnya, Pudji menjelaskan bahwa komoditas yang menjadi andalan surplus meliputi lemak dan minyak hewan/nabati sebesar US$ 19,24 miliar, bahan bakar mineral sebesar US$ 15,41 miliar, besi dan baja sebesar US$ 10,70 miliar, nikel dan barang derivatifnya sebesar US$ 4,77 miliar, serta alas kaki sebesar US$ 3,77 miliar.

Sementara itu, beberapa komoditas masih mencatat defisit, terutama mesin dan peralatan mekanis dengan nilai US$ 15,77 miliar, mesin dan perlengkapan listrik sebesar US$ 6,36 miliar, serta plastik dan barang dari plastik sebesar US$ 4,39 miliar. Negara yang merugikan neraca perdagangan Indonesia paling banyak adalah China dengan defisit US$ 12,07 miliar, diikuti Singapura sebesar US$ 3,41 miliar, dan Australia sebesar US$ 3,16 miliar.

Data terbaru ini mengungkapkan peningkatan daya saing produk lokal, terutama dalam sektor non migas. Namun, defisit yang terus berlanjut di beberapa komoditas menandakan adanya tantangan dalam mengembangkan industri dalam negeri, terutama pada mesin dan peralatan mekanis.

Kedalaman defisit yang dialami dari China mengindikasikan ketergantungan Indonesia pada produk manufaktur dari negara tersebut. Hal ini mendorong pentingnya diversifikasi pasar dan pengembangan industri dalam negeri untuk meredam ketergantungan.

Untuk mengukuhkan posisi perdagangan Indonesia, perlu adanya strategi jangka panjang dalam meningkatkan nilai tambah produk lokal dan mengurangi ketergantungan pada impor. Dengan begitu, Indonesia dapat menjaga kelestarian surplus perdagangannya dan memperkuat posisi di pasaran global.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan