Ketika industri game gacha di Jepang baru-baru ini dihadapkan pada tantangan baru setelah Square Enix mengumumkan penutupan dua judul legendarisnya, Final Fantasy: Brave Exvius dan Dragon Quest of the Stars. Kedua permainan ini telah beroperasi selama lebih dari dekade, tetapi akhirnya harus menghadapi akhir karirnya karena persaingan semakin ketat di pasar game berbasis gacha serta kenaikan biaya produksi yang tidak terkendali. Meski penutupan semacam ini telah menjadi hal umum, kabar ini semakin memprovokasi keprihatinan para pejabat industri terhadap masa depan game gacha lokal. Khususnya, developer yang sudah lama berfokus pada platform mobile menemukan kesulitan besar dalam beralih ke bidang lain, seperti game konsol.
Kritikan yang paling keras datang dari Suemaru, seorang pengembang game mobile yang menggambarkan situasi saat ini sebagai kapal Titanic yang sedang tenggelam. Menurutnya, bertahan di industri ini sama seperti berusaha merebut kursi yang semakin terbatas setiap tahunnya. Hanya beberapa judul besar seperti Fate/Grand Order, Monster Strike, atau Puzzle & Dragons yang masih mampu bertahan, meski mereka juga mengalami kesulitan dalam merilis konten baru yang sukses. Bahkan proyek besar seperti Tribe Nine dari Aniplex gagal bertahan dan ditutup hanya beberapa bulan setelah dirilis.
Bagi para kreator game gacha, masa depan terlihat semakin gelap. Suemaru mengaku bahwa jabatan sutradara game gacha tidak lagi menjanjikan, dengan penghasilan yang tidak meningkat dan risiko pekerjaan yang selalu ada. Transisi ke game konsol pun tidaklah mudah, karena persyaratan teknis dan kreatif yang jauh berbeda. Alwei dari Indie-Us Games juga sepakat bahwa para pengembang game mobile yang sudah lama terkunci dalam satu bidang ini mengalami kesulitan lebih besar dibandingkan para kolleganya di konsol.
Sementara itu, skill yang dimiliki oleh planner game gacha—yang mirip dengan game designer di Barat—sangat sulit untuk diaplikasikan di bidang lain. Programmer dan artist masih memiliki fleksibilitas untuk berpindah, tetapi para planner harus menghadapi tantangan besar dalam transisi karir mereka. Industri game konsol memerlukan kemampuan teknis yang tinggi, dari gameplay yang kompleks hingga standar grafis premium, yang sulit dicapai oleh para pengembang yang hanya memiliki pengalaman di mobile.
Data terbaru dari Japan Online Game Association menegaskan kesulitan ini. Pada tahun 2024, nilai pasar game online di Jepang akhirnya anjlok ke 1,105 triliun Yen, turun dari tahun sebelumnya. Sementara itu, biaya produksi rata-rata satu judul game mobile mencapai 54 miliar Rupiah, hampir lima kali lipat dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Ditambah dengan persaingan sengit dari publisher besar asal Cina dan Korea Selatan, industri game gacha Jepang désormais menghadapi tantangan besar untuk kembali berjaya.
Kini, untuk pemabit game, tidak hanya harus menghadapi kesulitan finansial, tetapi juga tekanan untuk terus inovasi di tengah persaingan yang semakin ketat. Industri ini membutuhkan solusi kreatif dan strategi baru untuk tetap relevan. Sementara itu, para pengembang harus siap untuk menyesuaikan diri dengan perubahan pasar, baik dengan beralih platform maupun dengan mengembangkan skill yang lebih fleksibel. Masa depan game gacha di Jepang tentu tidak akan mudah, tetapi dengan adaptasi dan inovasi, masih ada harapan untuk mengatasi tantangan ini.
Baca juga games lainnya di Info game terbaru

Owner Thecuy.com