Badan Pusat Statistik (BPS) kembali menjadi sorotan setelah mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 1,65 triliun untuk tahun 2025. Permintaan ini menuai kritik dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terutama karena dilakukan ketika kredibilitas data pertumbuhan ekonomi yang dirilis mereka menjadi perdebatan publik.
La Tinro La Tunrung, anggota Komisi X DPR RI, menganggap usulan tambahan budget tersebut tidak tepat waktu. Ia meminta BPS untuk memperkuat keakuratan data sebelum meminta dana tambahan. “Dari segi matematika, pasti ada kesalahan. Sudah ada penjelasan teknis tentang pola perhitungan BPS. Setiap survei pasti ada margin error, tapi ini berbeda karena banyak lembaga lain yang hasilnya jauh berbeda dengan data BPS,” ujarnya saat rapat dengan BPS di DPR, Selasa (26/8/2025).
La Tinro memberikan contoh dengan menunjukkan perbedaan data pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025. Menurut BPS, pertumbuhan mencapai 5,12%. Namun, Bank Permata dan Bank Danamon masing-masing memperkirakan 4,78% dan 4,79%. Perbedaan ini menimbulkan kecurigaan masyarakat.
Ia juga mengingatkan tentang risiko besar jika data yang disajikan salah, karena bisa menyesatkan kebijakan pemerintah. “Ada kerugian ganda. Berapa biaya yang sudah dikeluarkan? Rp 6 triliun ditambah Rp 1 triliun menjadi Rp 7 triliun. Jika data yang disajikan salah, maka tidak ada manfaat dari pembiayaan tersebut,” tegasnya.
Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, juga mengungkapkan keprihatinannya. Ia meminta klarifikasi dari Kepala BPS terkait laporan majalah Tempo edisi 25 Agustus yang menuduh BPS merakasai data pertumbuhan ekonomi. “Ada tuduhan BPS mengotak-atik angka pertumbuhan ekonomi. Jika diperdebatkan, bisa disibukkan dengan soal metodologi, cara pengambilan data, hingga faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan. Menurut laporan Tempo, BPS memasukkan variabel yang tidak biasa untuk menaikkan citra ekonomi Indonesia,” kata Bonnie.
Menanggapi kritik tersebut, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan bahwa BPS bekerja berdasarkan data dan fakta, bukan proyeksi atau asumsi. “Lembaga lain mungkin melakukan proyeksi, tapi kami tidak boleh. Kami mengukur data yang kami kumpulkan melalui survei atau data administrasi,” ujarnya.
Amalia menjelaskan bahwa BPS tidak hanya menyajikan data Produk Domestik Bruto (PDB) secara nasional, tetapi juga di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Data ini harus konsisten antara agregasi PDRB 38 provinsi dengan PDB nasional, maupun sebaliknya.
Terkait anggaran, Amalia mengungkapkan pagu indikatif BPS untuk tahun 2026 awalnya sebesar Rp 3,69 triliun. Jumlah itu hanya cukup untuk gaji pegawai dan operasional dasar. Karena itu, BPS mengusulkan tambahan Rp 4,91 triliun. “Dari usulan tambahan Rp 4,91 triliun, kami mendapatkan tambahan Rp 3,16 triliun, sehingga total anggaran saat ini Rp 6,85 triliun. Namun, masih ada 10 kegiatan yang belum teranggarkan,” katanya.
Amalia menambahkan bahwa BPS sudah mengajukan surat kepada Menteri Keuangan dan Menteri Bappenas pada 6 Agustus 2025 untuk meminta tambahan Rp 1,65 triliun. Dengan tambahan ini, BPS berharap kebutuhan anggaran tahun depan bisa terpenuhi sekitar Rp 8,5 triliun.
Data riset terbaru menunjukkan bahwa kredibilitas data statistik menjadi faktor kunci dalam pembuatan kebijakan ekonomi. Studi terbaru memperlihatkan bahwa kesalahan dalam pengukuran data dapat menyebabkan kerugian finansial yang signifikan bagi negara. Sebagai contoh, salah satu studi kasus menunjukkan bahwa kesalahan dalam data pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan alokasi anggaran yang tidak tepat, yang pada gilirannya mempengaruhi stabilitas ekonomi.
Analisis unik dan simplifikasi: Dalam konteks ini, penting bagi BPS untuk memastikan keakuratan data agar kepercayaan masyarakat dan pemerintah tetap terjaga. Data yang tepat tidak hanya penting untuk kebijakan, tetapi juga untuk kepercayaan investor dan stabilitas ekonomi nasional. BPS perlu melakukan audit internal yang ketat dan transparan untuk memastikan data yang dikeluarkan benar-benar akurat.
Kebijakan yang didasarkan pada data yang tidak tepat dapat menyebabkan konsekuensi parah. Seperti yang terlihat dalam kasus ini, perbedaan data antara BPS dan lembaga lain memicu perdebatan yang menyulitkan. Solusi adalah dengan meningkatkan kerjasama antara BPS dan lembaga lain untuk memastikan konsistensi data. Dengan demikian, pembuat kebijakan dapat mengambil keputusan yang lebih informasi dan akurat.
Kredibilitas data adalah fondasi dari setiap kebijakan yang dibuat. Tanpa data yang tepat, setiap usaha untuk mengembangkan ekonomi akan sulit untuk diimplementasikan dengan efektif. BPS harus terus bekerja keras untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat dan menjaga integritas data yang mereka keluarkan. Hanya dengan demikian, Indonesia akan dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berkelanjutan.
Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.