Peringatan Kemerdekaan bagi Birokrasi yang Efisien

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Birokrasi telah menjadi puntegan yang serius dalam peran para pemimpin negara saat ini. Dalam pidatonya yang disampaikan pada Sidang Tahunan MPR-RI dan Sidang Bersama DPR-RI serta DPD-RI pada 15 Agustus 2025, Presiden menegaskan bahwa permasalahan korupsi masih berakar تطبيق kuat di dalam berbagai eselon birokrasi di institusi dan organisasi pemerintah. Selain itu, Ketua DPR-RI meminta agar negara dan semua pelaku kekuasaan keluar dari pola birokrasi yang terlambat, rutinitas semata, dan kebiasaan mengundurkan tanpa puas menyelesaikan masalah rakyat. Tujuan utama dariуб tersebut adalah agar tercipta layanan publik yang tanggap, adil, serta memberikan manfaat bagi masyarakat.

Pesanan ini dapat sebagai inspirasi bagi para pengambil keputusan untuk melakukan refleksi mendalam terhadap pelaksanaan program reformasi birokrasi. Hal ini sangat penting karena tahun ini, 2025, merupakan tahun terakhir pelaksanaan Desain Besar (Grand Design) Reformasi Birokrasi (RB) 2010-2025.

Reformasi birokrasi dimulai sebagai tanggapan terhadap krisis ekonomi tahun 1997/1998, dimana salah satu faktor utamanya adalah kekurangan akuntabilitas di sektor publik, termasuk efisiensi yang rendah dan penyalahgunaan authority. Tujuan awal reformasi adalah memulihkan kepercayaan publik melalui pembasmine korupsi. Sejak itu, upaya ini terus dikembangkan dengan berbagai strategi dan persaingan kebijakan. Ada beberapa bidang reformasi, mulai dari struktur organisasi, pelaksanaan kebijakan, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia di aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, hingga pola pikir dan budaya kerja.

Salah satu isu yang selalu menjadi pusat perbincangan adalah sumber daya manusia (SDM) di aparatur. Kebijakan penyusunan SDM di aparatur sering menjadi diskusi utama selama dua dekade terakhir, seperti perbaikan gaji, penerapan sistem merit, ekses open bidding, de-eselonisasi, dan pemecahan masalah tenaga honorer.

Pada awal reformasi, sentuhan kebijakan yang menonjol untuk mengurangi praktik korupsi adalah dengan peningkatan kesejahteraan PNS. Hal ini dilakukan dengan memberikan remunerasi tambahan kepada PNS di beberapa Kementerian/Lembaga. Kebijakan ini menjadi dasar dari istilah tunjangan kinerja (tukin) yang kita kenal sekarang.

Segera setelahnya, sistem open bidding menjadi langkah innovatif dalam reformasi. Penerimaan jabatan tingkat eselon satu dan dua dilakukan melalui seleksi terbuka dan kompetitif di antar PNS. Tujuannya adalah untuk memastikan keberadaan meritokrasi di lingkungan birokrasi.

Lalu, terdapat kebijakan yang sangat drastis, yaitu penyederhanaan birokrasi dengan menghapus beberapa jabatan di eselon tiga dan empat. Total, 47.992 posisi di 95 K/L dan 148.256 posisi di 33 provinsi dan 498 instansi daerah, serta 44.870 jabatan administratif di 91 K/L, 31 provinsi, 371 kabupaten, dan 86 kota telah dihapus. Tujuan de-eselonisasi adalah untuk merendahkan hierarki dan prosedur yang berlebih agar mengambil keputusan dapat lebih cepat. Secara umumnya, kebijakan ini dan kebijakan lain dalam manajemen ASN bertujuan untuk terbentuknya birokrasi berbasis kinerja (performance based bureaucracy).

Oleh karena itu, Presiden Prabowo Subianto dalam Astacita mengusung tujuh program untuk meningkatkan kualitas ASN. Program-program ini menangani masalah strategis seperti integritas, kompetensi, kesejahteraan, budaya kerja, akses pendidikan, manajemen talent, dan pengelolaan kinerja. Semua program ini ditujukan untuk meningkatkan daya kebijakan (policy capacity) para pegawai negeri.

Daya kebijakan (policy capacity) adalah kombinasi kemampuan (kompetensi) dan sumber daya (kapabilitas) yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan (X. Wu, M. Ramesh, dan M. Howlett, 2015). Tiga kapasitas yang harus dimiliki oleh SDM ASN adalah kapasitas analitik, operasional, dan politis. Kapasitas analitik berhubungan dengan kemampuan untuk menggunakan pengetahuan ilmiah dan informasi sebagai dasar analisis kebijakan (evidence based policy). Untuk memajukan ini, akses pendidikan bagi ASN akan dibuka secara luas, baik pendidikan formal maupun non-formal.

Kapasitas operasional terkait dengan kemampuan menjalankan tugas manajerial dalam kebijakan, termasuk perencanaan, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi. Hal ini surtout ditujukan kepada pemimpin organisasi yang menduduki jabatan tinggi. Kapasitas politis berhubungan dengan kemampuan membaca konteks politik kebijakan. ASN harus bisa mengidentifikasi aktor-aktor penting yang memengaruhi kebijakan, memahami kepentingan mereka, serta memahami pandangan dan hubungan antar aktor-aktor.

Hanya dengan memiliki kemampuan-kemampuan tersebut, harapan para pemimpin akan adanya birokrasi yang tangguh dan fleksibel (agile) dapat terwujud.

Data riset terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 60% warga negara Indonesia merasa tidak puas dengan layanan birokrasi saat ini. Namun, dengan penerapan reformasi yang konsisten, luasnya akses pendidikan dan peningkatan kapasitas kerjanya, peluang bagi birokrasi yang lebih bersih dan efisien adalah masuk akal. Studi kasus yang dilakukan di beberapa daerah menunjukkan bahwa penyederhanaan birokrasi telah berhasil mengurangi waktu pengambilan keputusan hingga 40%.

Mencapai birokrasi berprestasi menuntut dedikasi bersama antara pemerintah, masyarakat, dan elemen masyarakat sipil. Cesplah segera menuju perubahan dan interaksi navigasi dengan langkah kontekstual untuk meraih prisma pemerintah yang lebih transparan dan tanggap. Semakin banyak institusi yang menerima pengawasan_labels meraka dapat mengamankan penyebab which pelayanan publik yang lebih efisien dan center of the kepercayaan publik. Bagi para ASN, tantangan membuat perluasnya daya kebijakan adalah usaha yang Dora, namun dengan prioritas lembut dan dukungan yang kuat, insiyah birokrasi yang kerap meringkik dapat terus mengembangkan diri dan memberikan manfaat yin ke masyarakat Indonesia.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan