Menghasalkan Produktivitas dengan Implementasi Kecerdasan Buatan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Novelis yang meraih prestisius penghargaan dengan dukungan ChatGPT, apakah posisinya setara dengan atlet profesional terlibat doping? Pertanyaan itu memerlukan pengetahuan yang cermat.

Keduanya terlihat mengandalkan bantuan luar saat meraih kesuksesan, tetapi situasinya tidak sama sekali identik. Doping, dengan asal kata yang bermakna obat campuran kimia (termasuk narkotika) untuk meningkatkan stamina atlet, telah lama dilarang di seluruh olahraga. Pelanggarannya dapat menimbulkan sanksi berat, termasuk pembatalan prestasi, pencabutan medali, bahkan larangan seumur hidup untuk ikut serta dalam kompetisi.

Contohnya, Lance Armstrong, legenda balap sepeda asal Amerika, yang berhasil meraih tujuh gelar juara Tour de France secara berturut-turut (1999-2005). Tahun 2012, semua medalinya dicabut setelah terbukti menggunakan doping. Dia juga dilarang ikut serta dalam Olimpiade sepanjang hidupnya. Hal ini menjadi salah satu skandal terbesar dalam sejarah olahraga, tercatat dalam tulisan Skyler Caruso, “Athletes Who Have Been Stripped of Olympic Medals and Why They’ve Had Them Revoked” (2024).

Sedangkan Marion Jones, atlet Amerika, juga kehilangan lima medali Olimpiade tahun 2000 akibat penggunaan doping. Ketika diadili, dia mengaku berlaku curang, kamu terakhir dijatuhi hukuman penjara. Alasannya jelas: penggunaan bahan kimia buatan mengubah pertandingannya menjadi adu kemampuan mengontrol obat, bukan kesempurannya sendiri.

Larangan doping di olahraga didasarkan pada prinsip bahwa prestasi harus berasal dari potensi fisik dan latihan, bukan dari pembantuan eksternal. Penggunaan doping memalsaikan ესes olahraga, mengubahnya menjadi persaingan teknologi farmasi. Atlet yang berprestasi terbaik seharusnya adalah mereka yang membatasi kemampuan tubuhnya, bukan yang bisa mengatur campuran kimia terbaik.

Namun, situasi berbeda jika diskusikan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam penulisan. Meskipun ChatGPT dan alat serupa bisa dianggap sebagai bantuan eksternal seperti doping, implikasinya terhadap dunia sastra belumlah sama. Rie Qudan, penerima Akutagawa Prize 2024 untuk novel Sympathy Tower Tokyo, menggunakan AI sebagai tambahan kreatif. Sebagian kecil cerita (kurang dari 5%) dihasilkan oleh ChatGPT, namun ia menekankan bahwa AI hanya digunakan untuk merangsang ide dan menggambarkan interaksi karakter.

Pendapat tentang hal ini terbagi. Di sisi satu, ada yang mempertanyakan keabsahan penggunaan AI dalam penulisan, menganggapnya sebagai bentuk kecurangan. Di sisi lain, ada pula yang memuji Qudan karena inovatif dalam mengintegrasikan teknologi dengan karya sastra. Johnny Flash, dalam artikel “Rie Kudan’s AI-Assisted Novel: Innovation or Cheating in Literature?” (2024), berpendapat bahwa penggunaan AI terus mempertanyakan definisi kreativitas di era digital.

Namun, jika novel yang dibahas sepenuhnya ditulis melalui ChatGPT—dari plot, karakter, hingga dialog—maka validitasnya akan sangat terjejas. Penulis hanya menjadi pemosisi prompt, bukan pencipta esensi cerita. Penerapan AI tanpa penafsiran manusia akan menghasilkan karya yang mungkin technis tapi tanpa jiwa. Itu seperti atlet yang mengandalkan doping—prestasi mereka berasal dari sumber luar, bukan dari usaha sendiri.

Dunia sastra dan olahraga memiliki aturan yang berbeda, tetapi keduanya memerlukan kepatuhan terhadap prinsip dasar: performa harus berasal dari kemampuan asli. AI bisa menjadi alat, pero tidak boleh menggantikan kreativitas penulis. Jika digunakan bijak, teknologi Augusta dapat menjadi jembatan ketuntasan, bukan menodai kemampuan asli.

Pernahkah Anda berfikir biasanya kecerdasan buatanый akan menghilangkan sentuhan manusia dalam karya seni? Malah, sebagai pemirsa, bagaimana pandanganmu tentang penggunaan AI oleh para seniman dan penulis?

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan