Persetujuan Damai Suriah-Israel Puncak Diplomasi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Dalam rangka sejarah terbaru beberapa dekade, pejabat dari Suriah dan Israel telah melakukan pertemuan langkah pertama yang penting melalui perundingan tertutup di Paris, Prancis. Kehadiran teratas dari Ron Dermer, Menteri Urusan Strategis Israel, Asaad al-Shibani, Menteri Luar Negeri Suriah, dan Tom Barrack, utusan AS untuk Suriah, mendukung upaya diplomatik ini.

Hauptfokus pertemuan adalah untuk mengurangi ketegangan antara kedua negara, mencegah campur tangan dalam urusan dalam negeri Suriah, serta memulihkan kesepakatan pelepasan tahun 1974. Selain itu, diskusi juga mengacu pada penanganan bantuan kemanusiaan bagi komuniti minoritas Druze di Suriah.

Sementara pihak Israel memilih tidak memberikan komentar lebih lanjut, media Suriah, SANA, melaporkan bahwa pertemuan itu menyimpulkan dengan rencana untuk melanjutkan dialog. Pihak Israel juga menegaskan bahwa perundingan sebelumnya, yang diikuti pejabat pendukung, telah berakhir tanpa hasil konkret pada akhir Juli.

Hubungan antara kedua negara telah mengeruh sejak 1967, ketika Israel menduduki Dataran Tinggi Golan, yang dianggap sebagai wilayah Suriah oleh komunitas internasional. Hanya Amerika Serikat dan Israel yang mengakui wilayah tersebut sebagai bagian dari negara mereka. Gencatan senjata tahun 1974 telah menetapkan zona penyangga yang didemiliterisasi PBB, namun keadaan semakin memburuk sejak jatuhnya diktator Bashar al Assad akhir 2024.

Pihak Suriah mengungkapkan akan bentuk deklarasi yang mengkonfirmasi bahwa Israel menuntut pembangunan koridor kemanusiaan untuk Sweida, tempat berdatangan banyak warga Druze. Di Suriah, komunitas ini berjumlah sekitar 700.000 jiwa, dan di Israel sejumlah 150.000 jiwa. Anggota komunitas Druze di Israel wajib melaksanakan militer, berbeda dengan situasi di Suriah.

Kekerasan sektarian Juli 2025 telah menyebabkan lebih dari 1.700 korban jiwa akibat bentrokan antara komunitas Druze dan Badui Arab. Walaupun gencatan senjata telah berakhir, laporan menunjukkan pembatasan akses bantuan kemanusiaan di Sweida. Pemerintah Suriah menolak klaim ini, tetapi sumber lain mengonfirmasi bahwa milisi Druze dapat memanfaatkan koridor kemanusiaan untuk menyelundupkan senjata.

LSM Action For Humanity, yang menyokong Syria Relief, telah menyampaikan laporan tentang kondisi kemanusiaan yang semakin buruk di daerah tersebut. Mereka menyoroti perlambatan akses terhadap layanan dasar dan kemungkinan kemiskinan yang semakin parah. Beberapa analis, seperti Yossi Mekelberg dari Chatham House, melihat perundingan saat ini sebagai kesempatan bagi Suriah untuk memulihkan kepercayaan dalam dan luar negeri. Hal ini juga dapat mengurangi ketegangan dengan Israel, karena isu Druze menjadi krusial bagi kedua pihak.

Meskipun prospek normalisasi hubungan masih diragukan, baik dari sisi Suriah maupun Israel, beberapa analis berpendapat bahwa jika pemerintahan saat ini bersikeras pada arah positif, normalisasi dapat menjadi tujuan jangka panjang. Namun, keadaan perang yang masih berlangsung di Gaza menjadi hambatan utama.

Selain mengacaukan proses normalisasi, perang di Gaza juga kunci dalam membentuk masa depan diplomasi antara Suriah dan Israel. Ketika kekerasan berakhir, kemungkinan terjadinya dialog yang lebih konstruktif akan meningkat. Namun, keputusan politik yang sacrifice dari kedu belah pihak tetap menjadi poin utama dalam mencapai solusi yang stabil dan berkelanjutan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan