Harga Mahal Membaca Berkas Vonis Pasca Kasus Migor

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Di Jakarta, Mantan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanto, kini berada dalam proses peradilan terkait kasus suap yang melibatkan vonis lepas dalam perkara pengurusan izin ekspor CPO (Crude Palm Oil) atau bahan minyak goreng (migor). Penyidik mengungkap adanya transaksi uang yang besar yang diklaim diterima hakim untuk “membaca berkas”.

Arif, yang saat kasus ini terjadi menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diduga menerima suap berjumlah Rp 40 miliar secara bersama-sama dengan beberapa tokoh lain, termasuk Wahyu Gunawan (panitera), Djuyamto (ketua majelis), Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom (anggota majelis). Jaksa menuduh uang tersebut berupa uang dolar Amerika Serikat (USD) sebesar 2,5 juta dolar, setara dengan Rp 40 miliar.

Pada saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, jaksa menjelaskan bahwa uang tersebut berasal dari pengacara terdakwa korporasi minyak goreng, yaitu Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M Syafei. Korporasi yang terlibat dalam kasus ini adalah Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

Jaksa mengemukakan bahwa uang tersebut diberikan untuk memengaruhi putusan majelis hakim agar menjatuhkan vonis lepas terhadap para terdakwa. Jaksa meyakini bahwa Arif melanggar beberapa pasal dalam UU Tipikor dan KUHP.

Pembagian uang suap tersebut meliputi dua kali penerimaan. Pertama, uang sebesar USD 500 ribu (Rp 8 miliar) dengan rincian penerimaan masing-masing pihak: Arif menerima Rp 3,3 miliar, Wahyu Gunawan Rp 800 juta, Djuyamto Rp 1,7 miliar, Agam Syarief Baharudin Rp 1,1 miliar, dan Ali Muhtarom Rp 1,1 miliar. Kedua, uang sebesar USD 2 juta (Rp 32 miliar) dengan rincian penerimaan masing-masing pihak: Arif Rp 12,4 miliar, Wahyu Gunawan Rp 1,6 miliar, Djuyamto Rp 7,8 miliar, Agam Syarief Baharudin Rp 5,1 miliar, dan Ali Muhtarom Rp 5,1 miliar.

Selain itu, jaksa juga mengungkap adanya “uang baca berkas” sebesar Rp 3,9 miliar. Arif diperkirakan menyerahkan uang ini dalam bentuk goodie bag ke Djuyamto pada Juni 2024. Dalam goodie bag tersebut, uang tersebut dibagi kembali: Djuyamto menerima Rp 1,7 miliar, Agam dan Ali masing-masing Rp 1,1 miliar. Setelah menerima uang ini, Djuyamto mengarahkan Agam dan Ali untuk mempelajari putusan tertentu sebagai pertimbangan dalam putusan kasus korupsi korporasi migor.

Kejelasan dalam kasus ini memang menyoroti permasalahan serius dalam sistem peradilan. Kasus suap seperti ini tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, tetapi juga membuktikan bahwa integritas dan keadilan harus diutamakan. Kesimpulan yang bisa diambil, peradilan harus selalu bebas dari campur tangan aparat(json) yang melanggar etika profesi.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan