Merdeka dari Kebutaan Ekonomi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Kemerdekaan bukanlah ujung jalan perjuangan, melainkan gerbang menuju cita-cita tinggi bangsa untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hari Kebangsaan 17 Agustus bukan sekadar merayakan lepasnya negara dari penjajah, tetapi juga untuk mengevaluasi sejauh mana janji proklamasi telah terlaksana dalam kehidupan sehari-hari rakyat.

Apakah orang kecil telah mellupakan kesengsaraan karena bebas dari kemiskinan, kelaparan, dan ketidaksamaan? Ataupun kemerdekaan tetap hanya simbol yang terkandung dalam genggaman segelintir elite?

Di sini terlihat relevansi refleksi kemerdekaan. Kemerdekaan sejati bukan hanya kemerdekaan dari penjajah, tetapi juga dari serakahnomics, sebuah konsep yang menggambarkan ekonomi yang diatur oleh pihak minoritas untuk memanfaatkan mayoritas rakyat.

Fenomena serakahnomics tampak melalui kartel pangan yang menyebabkan kenaikan harga minyak goreng di negara produsen kelapa sawit terbesar dunia, atau mafia tambang yang menjelma sebagai kolonialisme dalam negeri.

Pertimbangan kemerdekaan pada tahun 2025 menjadi lebih penting ketika Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR (15 Agustus 2025) menyatakan bahwa visi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat bukan sekadar idealisme, dengan frase “Wong cilik iso gemuyu” sebagai refleksi tujuan kemerdekaan yang sebenarnya.

Kata-kata itu sederhana tetapi isinya dalam, karena kemerdekaan sejati terdiri dari kemampuan setiap rakyat untuk hidup bahagia, ketika kebutuhan dasar terpenuhi, masa depan terjamin, dan martabat dihormati.

Pesanan kemerdekaan

Presiden Prabowo dalam pidato kenegaraan Sidang MPR RI (2025) juga menegaskan, “Kemerdekaan sejati adalah merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kelaparan, dan merdeka dari penderitaan.” Konsep ini mengukuhkan bahwa kemerdekaan bukan hanya simbol politik, tetapi janji untuk membebaskan rakyat dari kendala kehidupan.

Pernyataan ini sejalan dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 yang tertunggak dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi seluruh bangsa, meningkatkan kesejahteraan, menciptakan kehidupan yang lebih baik, dan ikut serta dalam menjaga perdamaian global.

Sejarah menunjukkan arah yang sama. Bung Karno pernah mengatakan, “Kemerdekaan hanya jembatan emas,” yang harus dilalui oleh rakyat untuk mencapai keadilan dan kemakmuran. Kenche dengan gagasan Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom, bahwa pembangunan adalah proses membebaskan manusia dari kebebasan yang terbatas.

Presiden ke-V RI, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, juga mengingatkan, “Negara harus bekerja untuk yang lemah, karena yang kuat bisa menjaga dirinya sendiri.” Dengan demikian, janji kemerdekaan meminta negara untuk membela mereka yang paling rentan, menjadi rakyat kecil yang berjuang untuk bertahan dalam kehidupan harian.

Oleh karena itu, cita-cita bangsa Indonesia tidak boleh terhenti pada pertumbuhan ekonomi lima persen per tahun, tetapi harus terwujud dalam bentuk keadilan sosial yang nyata. Anak-anak harus belajar dengan perut kenyang, petani dan nelayan menerima harga yang adil, guru dan dosen mendapat penghargaan yang layak, dan keluarga tidak lagi takut kalah dengan biaya kesehatan yang mahal. Ini adalah kemerdekaan yang nyata, janji yang terus dipertahankan di seluruh generasi.

Bung Karno pernah membenarkan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Ungkapan ini menjadi pengingat bahwa tugas generasi ini adalah untuk menjaga janji kemerdekaan, membawa kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga Indonesia.

Keberanian Menentang Kartel

Di tengah pidato, Presiden Prabowo juga membahas distorsi yang serius dalam struktur ekonomi nasional, dengan mengatakan, “Aneh sekali, negara dengan sumber kelapa sawit terbesar di dunia pernah mengalami krisis minyak goreng.” Kata-Kata ini membuka kenyataan bahwa kartel pangan masih ada, memanipulasi harga dan distribusi untuk melayani kepentingan minoritas.

Pemerintah merespon dengan langkah tegas melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan, yang telah mengatur 3,1 juta hektar lahan sawit ilegal dan juga berjanji untuk menindak tambang yang merusak lingkungan dan melanggar hukum.

Persebaran kartel dan mafia ekonomi bisa dijelaskan melalui teori rent-seeking (Krueger, 1974), di mana elite memperoleh keuntungan bukan dari produktivitas, tetapi dari monopoli akses dan regulasi. Pola ini menyebabkan segelintir orang meraih keuntungan besar, sementara rakyat harus menanggung harga tinggi dan kekurangan barang.

Karena itu, langkah Presiden untuk membatasi izin penggilingan beras skala besar dan mengatur distribusi pangan melalui negara bukan tikungan, tetapi tegasnya untuk menjalankan Pasal 33 UUD 1945, yaitu industri yang memenuhi kebutuhan masyrakat harus di bawah kontrol negara untuk kemakmuran yang optimal.

Geopolitik yang Tidak Stabil

Presiden Prabowo juga menekankan bahwa dunia saat ini dalam situasi geopolitik yang tidak stabil, sehingga Indonesia harus berjaga-jaga dalam meningkatkan pertahanan. Lingkungan global saat ini ditandai dengan persaingan AS-Tiongkok yang semakin intens, perang Rusia-Ukraina yang berkepanjangan, dan konflik di Timur Tengah yang memengaruhi stabilitas energi global.

Richard Haas (2017) dalam A World in Disarray menyebut era ini sebagai “non-order,” di mana dunia tak lagi memiliki tatanan global yang stabil dan negara harus bergantung pada kemampuan internalnya.

Untuk menghadapi tantangan ini, Indonesia memastikan pertahanan dengan membentuk enam Kodam baru, memperkuat pasukan khusus, dan meningkatkan kesiapan pertahanan. Di bidang diplomasi, Indonesia aktif dalam forum internasional seperti BRICS, G20, dan ASEAN, bukan hanya untuk mengukuhkan posisi, tetapi juga untuk melindungi kekayaan nasional dalam gejolak geopolitik global. Pendekatan ini menunjukkan bahwa kemandirian pertahanan dan diplomasi aktif menjadi dua sisi yang komplementer dalam melindungi kedaulatan bangsa.

Ini menunjukkan relevansi Wawasan Nusantara yang diajukan Mochtar Kusumaatmadja (1984), dengan posisi strategis Indonesia di antara dua samudera dan dua benua menjadi kesempatan dan pencabar. Dengan pengelolaan sumber daya yang adil serta pertahanan maritim yang kuat, Indonesia dapat tampil sebagai kekuatan regional yang dihormati.

Bung Karno pernah berkata, “Lebarkan dunia di tangan Asia, dan Asia akan bangkit sebagai kekuatan penentu.” Pesan ini kini menjadi kenyataan. Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar, memiliki kesempatan historis untuk menjadi penyeimbang strategis di kawasan Indo-Pasifik yang berdaulat, berdaya, dan berwibawa di mata dunia.

Dari Elite ke Rakyat

Dalam pidato kenegaraan, Presiden Prabowo juga melihat bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata cinq persen selama tujuh tahun terakhir memang menarik, tetapi belum benar-benar dirasakan oleh rakyat kecil. Kemiskinan di desa masih ada, dan ketimpangan membuat manfaat pembangunan hanya dinikmati elite. Hal ini mengukuhkan bahwa pertumbuhan ekonomi harus diukur bukan hanya dari angka, tetapi dari pengaruhnya pada kelangsungan hidup masyarakat.

Untuk merespon, pemerintah meluncurkan program seperti Makan Bergizi Gratis, Sekolah Rakyat, dan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Ini bukan sekadar intervensi teknis, tetapi strategi pemerintah untuk membalik alur pembangunan dari atas ke bawah, dari elite ke rakyat.

Makan Bergizi Gratis membantu jutaan anak sekolah untuk memiliki masa depan yang lebih kuat, Sekolah Rakyat dan Koperasi Desa memberikan akses pendidikan, pekerjaan, dan kemandirian ekonomi di level dasar.

Daron Acemoglu dan James Robinson (2012) dalam Why Nations Fail menyatakan bahwa kemakmuran hanya bisa dicapai jika institusi inklusif. Artinya, kebijakan harus membuat kesempatan terbuka bagi semua, bukan untuk menutupnya bagi minoritas.

Di sini, keberpihakan pemerintah menjadi penting untuk memastikan bahwa manfaat ekonomi tidak hanya dinikmati oleh elite, tetapi juga menyentuh desa, petani, nelayan, guru, dan keluargatile.

Harapan yang Bisa Direalisasikan

Perjalanan menuju Indonesia sejahtera tentu tidak mudah. Kartel pangan, mafia tambang, dan perindustrian akan selalu berusaha mempertahankan kepentingan mereka. Namun sejarah menunjukkan bahwa setiap mimpi yang dipertahankan dengan keberanian bisa tercapai.

Dari pendiri bangsa hingga generasi sekarang, Indonesia berdiri kokoh karena keberanian melawan ketidakadilan dan keyakinan bahwa masa depan yang lebih baik bisa diraih bersama.

Presiden Prabowo mengaku dengan tegas, “Selama saya menjabat, jangan pernah menganggap yang besar dan kaya bisa bertindak semena-mena. Pemerintah akan selalu membela kepentingan rakyat.” Pernyataan ini memastikan bahwa negara berada di pihak rakyat, bukan di balik elite yang serakah.

Ketika pidato berakhir dengan seruan, “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju,” itu bukan sekadar kata-kata politik, tetapi arah untuk bangsa menjadi kompas yang menyegarkan harapan bahwa kesejahteraan rakyat bisa diraih, asalkan kita bersatu dan tetap konsisten menjaga janji Kemerdekaan.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan