Pajak Negara: Kewajiban Konstitusi dan Beban Ganda

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pada masa lalu, umat Muslim tidak dikenakan pajak negara. Cukup membayar zakat, dan kewajiban fiskal sudah terpenuhi. Pajak hanya berlaku bagi non-Muslim yang tidak ikut serta dalam pertahanan negara. Sistem ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga simbol identitas politik dan kesepakatan sosial sejak abad ke-7.

Saat ini di Indonesia, baik Muslim maupun non-Muslim harus mengurus pajak, mengisi SPT tahunan, dan menyetor uang untuk kas negara. Tidak ada lagi perbedaan antara pembayar zakat dan pajak. Bahkan, sebagian umat Muslim merasa kewajiban double, harus membayar zakat dan pajak.

Kenapa status khusus umat Muslim di masa lalu tidak berlaku lagi? Apakah ini kemajuan dalam sistem negara modern atau justru penurunan nilai keadilan fiskal yang dulu dijunjung tinggi?

Indonesia sebagai negara konstitusi, bukan negara agama, sehingga pajak diatur melalui hukum dan berlaku bagi semua warga tanpa memandang agama, etnis, atau status. Pajak menjadi sumber utama pengadaan negara, mencapai 80,6% penerimaan tahun 2024 sebesar Rp 2.200 triliun. Dana ini dialokasikan untuk berbagai sector seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lain-lain.

Di sisi lain, rasio pajak Indonesia pada 2023 hanya 10,4% PDB, jauh di bawah target 15% dan rata-rata ASEAN. Ini menunjukkan adanya ruang untuk penyempurnaan dalam sistem perpajakan. Pajak adalah kontrak sosial, dimana warga membayar dan negara memberikan perlindungan serta layanan.

Untuk umat Muslim, zakat bukan hanya ibadah, tetapi juga instrumen pemerataan ekonomi. Data BAZNAS menunjukkan potensi zakat nasional mencapai Rp 327 triliun per tahun. Namun, realisasi pada 2023 hanya sekitar Rp17 triliun, jauh di bawah potensi. Beberapa negara seperti Malaysia dan Pakistan sudah memanfaatkan sinergi zakat dan pajak dengan baik.

Kepercayaan publik terhadap pengelolaan pajak sangat penting. Transparansi dan akuntabilitas merupakan kunci agar masyarakat percaya bahwa uang pajaknya digunakan dengan baik. Sementara Indonesia masih mendapatkan skor IPK 34/100, jauh di bawah rata-rata global. Transparansi yang lebih baik, seperti yang dilakukan negara seperti Selandia Baru, dapat meningkatkan patuhnya warga dalam membayar pajak.

Tanpa transparansi penuh, masyarakat akan terus bertanya-tanya tentang tujuan penggunaan uang pajak mereka. Indonesia perlu lebih bergerak untuk meningkatkan keterbukaan data anggaran dan pengawasan keuangan, sehingga sistem perpajakan menjadi lebih adil dan efisien.

Setiap kontribusi warga melalui pajak harus diakui dan digunakan dengan bijak, karena itu adalah investasi untuk masa depan bersama. Lebih dari sekadar kewajiban, pajak adalah tanggung jawab bersama untuk membangun negara yang lebih baik.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan