Kabupaten Pati menarik perhatian seluruh negeri setelah rencana kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan serta Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen melahirkan demonstrasi massa yang kuat. Pada 13 Agustus 2025, ribuan warga turun ke jalan untuk memprotes kebijakan tersebut dan meminta Bupati mengundurkan diri. Demonstrasi tersebut benar-benar berhasil memaksa pembatalan peningkatan tarif, namun kesalahpahaman dan kecewa terhadap pihak berwenang masih bersemi dalam hati masyarakat.
Kehadiran PBB sebagai pajak tahunan berlaku bagi setiap pemilik atau penguasa tanah dan bangunan. Nilai pajak ini ditentukan berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang disusun pemerintah daerah yang terkait. Sebagai sumber pendapatan yang stabil, PBB terus dikenakan untuk mendukung berbagai keperluan layanan publik. Berdiri pada sejarah luar biasa, PBB memiliki latar belakang politik dan ekonomi yang kuat. Di masa kolonial, pemerintah kolonial meyakini bahwa tanah dimiliki negara, sementara masyarakat hanya berperan sebagai penyewa yang harus membayar sewa atau pajak. Sistem ini tarifnya pertama kali diajukan secara resmi pada masa penjajahan Inggris melalui kebijakan landrente di bawah Raffles dan dilanjutkan masa penjajahan Belanda.
Setelah merdeka, sistem pajak tanah diubah menjadi Pajak Hasil Bumi (PHB) dan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), sebelum akhirnya digabung menjadi PBB pada tahun 1985 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 kemudian mengabdikan manajemen PBB-P2 kepada pemerintah setempat, memberikan otonomi penuh untuk menetapkan tarif dan mekanisme pemungutannya.
Menyelesaikan PBB kepada pemerintah daerah ejewekan menimbulkan beberapa permasalahan yang sedang terjadi. Sebagian area pemerintah daerah menjadikan PBB sebagai sumber pendapatan utama untuk meningkatkan pendapatan daerah. Saat kebutuhan fiskal terus naik, pemerintah sering memilih jalan terpendek untuk mencapai target, yakni menaikkan tarif atau memperbarui NJOP. Faktor seperti digitalisasi dan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dari pusat pemerintah mendukung langkah ini. Namun, kenaikan tarif sering dilakukan tanpa memahami kondisi ekonomi masyarakat dan tanpa memberikan penjelasan yang jelas tentang manfaat yang akan diraih. Hal ini membuat PBB yang awalnya sebagai kontribusi bersama justru dipandang sebagai beban, menjadi pemicu konflik antara pemerintah dan warga.
Pemerintah daerah yang membutuhkan dana tambahan untuk pembangunan kini menghadapi meningkatnya beban hidup warga. Di sini, diperlukan alternatif yang lebih adil dan dapat diterima. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah Land Value Capture (LVC). Konsep dasar LVC adalah bahwa nilai tanah sering naik karena investasi dan kebijakan publik, seperti pembangunan jalan tol, stasiun, atau taman kota. Dengan LVC, pemerintah dapat mengumpulkan pajak dari kenaikan nilai tanah tersebut untuk membiayai proyek berikutnya, berbeda dengan PBB yang tetap dibayarkan tahunan tanpa memandang kenaikan nilai. Penerapan LVC dapat dimulai dengan menentukan zona dampak proyek, lalu menilai nilai tanah sebelum dan sesudah proyek selesai, menggunakan data resmi dari penilai tanah. Selisih nilai tersebut menjadi dasar perhitungan pajak, dengan persentase tertentu yang dapat dibayarkan langsung atau diangsur.
Untuk melindungi warga berpenghasilan rendah, tanah dengan bangunan rumah utama nilai rendah dapat dibebaskan atau diberi potongan pajak. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu sepenuhnya mengabaikan PBB, namun dapat mengembangkannya dengan tarif lebih rendah, sementara LVC menangkap sebagian keuntungan kenaikan nilai tanah. Pendekatan ini menjadikan pendapatan daerah lebih beragam dan berkelanjutan, serta membangun keadilan di masyarakat karena pajak berdasarkan manfaat yang sebenarnya diterima.
Kasus Pati mengingatkan bahwa kebijakan pajak tanah tidak hanya tentang angka, tetapi juga legitimasi dan kepercayaan publik. Peningkatan PBB yang drastis mungkin meningkatkan pendapatan daerah pada saat tertentu, namun jika dilakukan tanpa penjelasan yang matang, bisa merusak hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Sebaliknya, model seperti LVC membangun keselarasan di mana pemerintah menerima dana yang diperlukan, sementara warga membayar dengan relawan karena tahu pajak tersebut langsung menguntungkan mereka. Pajak, pada akhirnya, harus menjadi wujud kerja sama yang memperkuat kaitan antara negara dan rakyat.
Pajak tanah merupakan salah satu isu sensitif yang memerlukan pendekatan bijak dan transparansi dari pemerintah. Semua pihak harus bersedia berdiskusi dan mengutamakan kepentingan umum dalam merumuskan kebijakan pajak. Jika pemerintah daerah dapat memahami kebutuhan warga dan menawarkan solusi yang adil, solusi seperti PBB dan LVC dapat bekerja secara harmonis. Pembangunan yang sejajar dan partisipatif bakal де membuat masyarakat lebih percaya dan ikut serta dalam pengelolaan pendapatan daerah, termasuk dalam pajak tanah yang lebih nyaman.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.
Wah, “optimalkan pendapatan daerah” alias “optimalkan isi kantong pemerintah” ya? Semoga aja kenaikannya nggak bikin warga demo beneran, ntar malah jadi “optimalkan pengeluaran negara” buat nge-handle demo. Kira-kira kenaikannya seberapa banyak nih, sampai bikin dompet kita nangis tersedu-sedu?