Refleksi Demokrasi di Hari Kemerdekaan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Seorang dosen senior mengajak dengan cara yang agak tegas, “Jangan sebut saya dengan ‘Pak’, sebut saja dengan nama saja.” Namun, seorang dosen muda mengungkapkan kesulitannya dengan berujar, “Wah, maaf, tapi permintaan itu terbilang sulit… Pak.”

Tiga: Table of Content

                Saya mendengar perbincangan semacam itu langsung di lingkungan kampus tidak lama ini. Memanggil dosen senior dengan "Bapak" atau "Ibu" sudah menjadi kebiasaan, kadang ditambahkan gelar mereka.

Ada sesuatu yang ingin disampaikan dosen senior tersebut. Mungkin ini merupakan usaha untuk menggulingkan struktur kekuasaan yang menurutnya tidak pantas ada. Untuk dosen muda, memanggil dosen senior dengan “Bapak” atau “Ibu” bukan hanya tanda hormat, tetapi juga ungkapan sopan santun yang harus dijaga.

Saya sendiri belum pasti apakah hal ini baik atau buruk bagi lingkungan akademis. Namun, bagi sebagian masyarakat yang mengutamakan adat istiadat, sering disebutkan “adab lebih utama dari ilmu.”

Inilah yang mungkin menjadi alasan banyak dosen, termasuk yang muda, menjunjung tinggi dan menjaga adat istiadat.

Kisah tersebut mengingatkanku pada Benedict Anderson, atau Ben, seorang sarjana Indonesia. Dia memberikan sumbangan kecil pada bahasa Indonesia yang masih terjaga hingga kini. Ben memopulerkan istilah “bule.”

Untuk sebagian orang, kata tersebut mungkin terdengar rasis. Padahal, Ben malah tidak suka dipanggil “Tuan” oleh warga Indonesia pada masa itu hanya karena kulitnya putih. Dia juga tidak menyukai ketika orang Indonesia terkesan berusaha menunjukkan hormat kepadanya, hanya karena perbedaan warna kulit.

Pada tahun 1960-an, orang Indonesia yang baru merdeka masih sulit untuk menghapus kebiasaan memanggil orang berwarna kulit putih sebagai “Tuan.” Hal ini karena orang Belanda pada masa kolonial merasa berhak dipanggil “Tuan” karena merasa lebih unggul dari orang Indonesia.

Akhirnya, Ben menemukan solusi. Dia menyadari bahwa warna kulitnya tidak putih, melainkan lebih dekat dengan merah muda kecoklatan. Dia memberitahu teman-temannya untuk memanggilnya “bule,” karena warna kulitnya mirip dengan hewan albino yang disebut “bulai” atau “bule” oleh masyarakat.

Dari sini, kita memahami bahwa kata sapaan memang terkait dengan hubungan kekuasaan. Ben hanya ingin diterima sebagai dirinya sendiri, tanpa memperhatikan warna kulitnya.

Saya memahami hal ini karena Ben selalu mendukung mereka yang sering diabaikan atau “underdog.”

Pada periode gelap Oktober 1966, Ruth McVey, Fred Bunnell, dan Ben menyusun analisis awal yang dikenal sebagai Cornell Paper. Judulnya adalah “Preliminary Analysis of the October 1, 1966, Coup in Indonesia.” Dalam karya tersebut, mereka menuduh bahwa percobaan kudeta pada waktu itu sebenarnya tidak berawal dari PKI, melainkan konflik internal di dalam militer sendiri.

Karena kebocoran dokumen tersebut, Ben dilarang masuk ke Indonesia selama 27 tahun dan kembali baru setelah Soeharto jatuh.

Pengalaman ini mengingatkan saya pada Sutan Syahrir, pahlawan nasional pertama Indonesia. Dia menjadi Perdana Menteri pertama dan aktif dalam perjuangan kemerdekaan di dalam negeri dan dunia. Sayangnya, Syahrir wafat sebagai tahanan politik di Zurich, Swiss. Dia seperti dikhianati bangsanya sendiri.

Berbeda dengan Syahrir, Ben meninggal di Kota Batu dan dimakamkan di Larung di Laut Utara Jawa. Sementara jasad Syahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

William Liddle pernah menulis, “Dimana-mana saat ini, demokrasi mengecewakan banyak orang.” Kalimat ini mungkin diambil dari naskah pidatonya pada 2011, yang tetap relevan bagi Indonesia hari ini. Sebagai orasi ilmiah pada waktu itu, banyak perdebatan mengenai isinya, dan saya merasa beruntung bisa membacanya.

Sejak beberapa waktu ini, gelombang otokrasi mulai merebak. Banyak negara menunjukkan gejala yang disebut Levitsky dan Way (2002) sebagai competitive authoritarianism. Tanda-tanda seperti penangkapan pihak oposisi atau mereka yang mengkritik pemerintah.

Pemakaian kekuasaan untuk mengkooptasi dan mengecilkan organisasi masyarakat sipil juga terjadi, dengan tujuan agar suara kritis tidak terdengar.

Penggunaan hukum untuk menindas lawan politik dan melindungi teman-teman juga menjadi tanda. Selain itu, mencari mayoritas di parlemen menjadi hal penting untuk memastikan kebijakan berjalan lancar, serta menghilangkan suara protest. Alasan yang sering digunakan adalah bahwa bangsa yang besar membutuhkan persatuan dan kesatuan. Oleh karena itu, koalisi besar adalah jalan yang harus ditempuh.

Namun, apakah kita sadar? Koalisi besar atau kepentingan tunggal justru mempercepat kita menuju jurang competitive authoritarianism. Hal ini membuat koreksi atas kebijakan yang salah seringkali tidak terjadi di majelis parlemen. Apakah kita harus meninggalkan demokrasi karena kekecewaan kita terhadapnya?

Suatu sore pada akhir pekan dalam percakapan santai, seorang teman berkata dengan nada setengah bercanda, “Demokrasi itu buatan Barat, tidak cocok untuk kita.” Teman lain menanggapi, “Maka apa yang asli kita? Kerajaan atau monarki,” lalu lingkungan menjadi sunyi.

Menjelang Hari Kemerdekaan pada 17 Agustus 2025, di pinggiran jalan mulai ramai dengan penjual bendera dan umbul-umbul merah putih berbagai ukuran. Kita semua bersiap untuk merayakannya dengan berbagai acara.

Tapi, apakah hari kemerdekaan hanya akan kita maknai sebagai ritual pengibaran bendera, lomba-lomba, atau seremonial?

Memang tidak salah merayakannya dengan cara seperti itu. Tapi, dengan usia republic yang sudah tidak lagi muda – 80 tahun – upaya perayaan yang refleksif sangat penting.

Refleksi memungkinkan kita untuk melihat ke depan dan memahami masa lalu secara ilmiah. Karena berbagai masalah bangsa hari ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari berbagai lapisan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Dari Ben, kita bisa belajar bahwa bangsa Indonesia harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan negara lain. Kita harus menghapus jejak kolonialisme dan neo-kolonialisme yang sudah lama menyiksa bangsa.

Ben menunjukkan bahwa politik juga harus berpihak kepada mereka yang tak diperhitungkan, yang lemah, atau yang terpinggirkan.

Selain itu, dari Syahrir kita memahami bahwa terkadang cinta dan kesetiaan terhadap Republik tidak selalu berbalas, dan kita harus siap menghadapi segala akibatnya. Namun, percaya bahwa cinta terhadap Republik tidak boleh luntur.

Liddle menunjukkan bahwa meskipun demokrasi sering mengecewakan dan tidak sesukses yang diharapkan, upaya memperbaiki mutu demokrasi harus terus dilakukan. Karena melalui demokrasi, berbagai kepentingan dan partisipasi warga negara menjadi mungkin, serta demokrasi memungkinkan adanya mekanisme perbaikan diri yang terus berkembang.

Ketiadaan oposisi dalam pemerintahan kita saat ini bisa menjadi tanda negatif. Tanpa mitra kritis, parlemen hanya akan menjadi alat stempel untuk setiap kebijakan pemerintah. Hal ini menjadikan setiap kebijakan tidak melalui perdebatan yang bermakna, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak berbasis bukti atau bahkan hanya didasarkan pada selera penguasa.

Adakah jalan lain? Mungkin yang kita butuhkan adalah meradikalkan demokrasi, seperti yang telah disampaikan Laclau dan Mouffe (1985) dalam bukunya Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. Dalam demokrasi radikal, “perbedaan” tidak hanya diterima, tetapi demokrasi juga hanya bekerja melalui adanya “perbedaan.”

Laclau dan Mouffe menekankan pentingnya mengakui dan memanfaatkan antagonisme dalam politik. Melalui demokrasi radikal, perbedaan antara “kita” dan “mereka” akan terus tumbuh, sehingga demokrasi menjadi hidup dan dinamis.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan