Is the US a modern-day apartheid state?

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Presiden Donald Trump baru-baru ini mengungkapkan rencana untuk mengendalikan enam kota di Amerika Serikat melalui pemerintah federal, dimulai dari Washington D.C., diikuti oleh Baltimore, Oakland, Los Angeles, Chicago, dan New York. Semua kota tersebut menjadi basis dukungan signifikan bagi Partai Demokrat.

Dari daftar tersebut, lima kota dipimpin oleh walikota berkulit hitam: Muriel Bowser di Washington D.C., Brandon Scott di Baltimore, Karen Bass di Los Angeles, Brandon Johnson di Chicago, dan Eric Adams di New York. Oakland, satu-satunya pengecualian, dipimpin oleh Sheng Thao, seorang wanita keturunan Asia-Amerika.

Kota-kota tersebut penduduknya sebagian besar terdiri dari non-kulit putih. Baltimore dan D.C. mayoritas penduduknya berkulit hitam. Oakland dan Los Angeles memiliki populasi Hispanik yang besar, sementara Chicago dan New York juga memiliki komposisi ras yang beragam dengan proporsi signifikan “people of color”.

Trump mempertanggungjawabkan kenaikan kriminalitas di kota-kota tersebut dan berencana untuk “mengembalikan ketertiban” melalui penyerahan polisi setempat ke tangan federal. Namun, konstitusi AS, terutama melalui prinsip dual sovereignty dan Posse Comitatus Act, menentukan batasan penggunaan kekuatan federal dalam urusan keamanan domestik.

Data resmi menunjukkan penyangkalan terhadap alasan Trump. Baltimore berhasil menurunkan angka pembunuhan hampir seperempat dalam setahun terakhir. Oakland mencapai penurunan kriminalitas sekitar sepertiga, khususnya kejahatan kekerasan. Di Washington D.C., tingkat kriminalitas sudah mencapai titik terendah dalam tiga dekade terakhir.

Retorika “mengembalikan ketertiban” bukan baru dalam sejarah politik Amerika. Presiden Richard Nixon dan Ronald Reagan pernah melakukan langkah serupa pada 1968 dan awal 1980-an untuk menanggapi kêresahan masyarakat. Namun, kebijakan mereka bersifat nasional, bukan hanya menargetkan kota-kota tertentu.

Trump berbeda. Ia memilih kota-kota yang dipimpin oleh lawan politiknya, mayoritas penduduknya kulit berwarna, dan umumnya dipimpin oleh walikota berkulit hitam. “Federalisasi” pun bukan konsep baru. Presiden Dwight D. Eisenhower pernah mengirim pasukan federal ke Little Rock, Arkansas, pada 1957 untuk menegakkan keadilan rasial di sekolah.

Trump berusaha mengavao federalisasi untuk merebut kendali atas kota dengan penduduk dan pemimpin bukan kulit putih. Sementara Eisenhower menghancurkan tembok segregasi, Trump seolah ingin membangunnya kembali.

Washington D.C. memiliki status konstitusi yang unik sebagai kota otonom yang langsung berada di bawah yurisdiksi federal. Hal ini memudahkan intervensi federal dalam hal keamanan. Namun kondisi tersebut tidak berlaku di lima kota lainnya, yang berada di bawah otoritas negara bagian yang memiliki otonomi kepolisian sendiri. Melakukan federalisasi di kota tersebut artinya merampas hak negara bagian untuk mengatur urusannya sendiri, yang menjadi inti sistem federal Amerika.

Trump dengan menggunakan D.C. sebagai alasan untuk federalisasi kota lain, sedang menyerang prinsip dasar pembagian kekuasaan antara pusat dan negara bagian.

Dengan demikian, tindakan Trump dianggap sangat berbahaya karena melanggar sistem federal yang menjadi dasar demokrasi Amerika. Ia bahkan memperluas batas kekuasaan presiden, yang selama ini dibatasi oleh konstitusi untuk mencegah kekuasaan terpusat tanpa kontrol.

Ada kemungkinan Trump sedang membangun politik otoriter berlandaskan etnis, sebuah bentuk diskriminasi terstruktur yang pernah terjadi di Afrika Selatan dan Israel. Statuta Roma mendefinisikan apartheid sebagai kebijakan dominasi sistematis satu kelompok ras terhadap kelompok ras lainnya. Sekalipun Amerika Serikat dikenal sebagai jantung demokrasi dunia, entah berapa tragis jika negara ini diidentifikasi dengan sistem semacam itu.

Rachland Nashidik.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan