Indonesia di Usia 80 Tahun: Tantangan Iklim dalam Meraih Kemerdekaan yang Utuh

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Delapan dekade silam, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya dengan tekad baja untuk lepas dari cengkeraman kolonialisme. Kemerdekaan dalam pengertian sesungguhnya mencakup kedaulatan penuh atas sumber daya alam serta kebebasan menentukan nasib tanpa intervensi eksternal. Namun, di usia yang genap delapan puluh tahun ini, muncul pertanyaan mendasar: sejauh mana negara ini benar-benar merdeka dalam menghadapi ancaman perubahan iklim?

Krisis iklim tidak sekadar persoalan ekologis, melainkan ujian nyata bagi kedaulatan nasional. Ancaman terhadap ketahanan pangan, ketersediaan air bersih, serta kesehatan masyarakat menunjukkan betapa rapuhnya kemerdekaan kita di hadapan fenomena global ini. Yang lebih memprihatinkan, berbagai kebijakan pemerintah sering kali tidak sejalan dengan semangat kemerdekaan, justru cenderung mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu daripada menyelamatkan lingkungan dan masyarakat.

Proklamasi 1945 mungkin membebaskan Indonesia dari penjajahan fisik, namun bentuk penjajahan baru muncul dalam wujud ketergantungan pada industri ekstraktif yang merusak lingkungan. Ketergantungan pada batu bara, minyak, dan pertambangan nikel yang tidak berkelanjutan menjadi bukti nyata. Tekanan tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam negeri melalui dominasi segelintir elite ekonomi yang memengaruhi kebijakan negara.

Sebagai negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, Indonesia menghadapi berbagai bencana ekologis mulai dari banjir rob di Jawa Utara, tanah longsor di Sumatera, hingga kekeringan di Nusa Tenggara. Ketika hutan terus dibabat untuk kepentingan perkebunan dan pertambangan, bukan hanya ekosistem yang rusak tetapi juga hak-hak masyarakat adat yang terampas. Pembangkit listrik tenaga batu bara yang terus dipertahankan dengan dalih pembangunan ekonomi justru mengancam masa depan bangsa.

Komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 13 tentang Penanganan Perubahan Iklim, belum terwujud secara nyata. Meski telah memiliki rencana dan target di atas kertas, implementasi di lapangan sering kali terbentur oleh kepentingan jangka pendek. Integrasi kebijakan iklim ke dalam perencanaan nasional, peningkatan ketahanan bencana, serta penguatan kapasitas masyarakat masih jauh dari harapan.

Di usia kedelapan puluh tahun kemerdekaan ini, Indonesia perlu mendefinisikan ulang makna kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan tidak hanya berarti bebas dari penjajahan asing, tetapi juga merdeka dari sistem ekonomi yang merusak lingkungan. Kemerdekaan yang inklusif harus melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk petani, nelayan, masyarakat adat, dan generasi muda dalam merancang masa depan yang berkelanjutan.

Generasi muda sebagai penerus bangsa memiliki peran krusial dalam mendorong kebijakan iklim yang berkeadilan. Semangat kemerdekaan harus diwujudkan dalam keberanian menuntut transisi energi yang bersih dan pembangunan yang berkelanjutan. Jika para pendiri bangsa mampu meraih kemerdekaan di tengah tekanan kolonial, maka generasi sekarang harus memiliki keberanian serupa untuk melawan praktik-praktik yang merusak bumi.

Kemerdekaan sejati hanya akan terwujud ketika bangsa ini mampu menjaga kelestarian alam sebagai fondasi kehidupan. Tanpa lingkungan yang sehat, kemerdekaan hanyalah konsep kosong tanpa makna.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan