Toxic Parenting Jadi Akar Masalah Kompleksitas Persoalan Anak di Kota Tasikmalaya

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Kota Tasikmalaya di tahun 2025 dihadapkan pada sejumlah tantangan serius terkait kesejahteraan anak dan remaja. Berbagai persoalan mulai dari pekerja anak, kecanduan rokok, penyalahgunaan miras dan narkotika, geng motor, tawuran pelajar, perundungan, kekerasan seksual, hingga anak yang berhadapan dengan hukum menjadi gambaran kompleksnya masalah sosial yang sedang terjadi.

Ipa Zumrotul Falihah, Direktur Taman Jingga, menekankan bahwa permasalahan ini tidak bisa dilihat secara terpisah-pisah. Menurutnya, akar masalah utama justru berasal dari lingkungan terdekat anak, yaitu keluarga. Ia menyatakan bahwa orang tua yang mengalami masalah sering kali menjadi sumber dari anak-anak yang kemudian mengalami masalah pula. Hal ini disampaikan dalam refleksi akhir tahun 2025.

Selama lebih dari lima tahun melakukan pendampingan kasus anak dan perempuan, Taman Jingga menemukan pola yang berulang. Anak-anak yang terlibat dalam berbagai masalah, baik sebagai korban maupun pelaku, hampir selalu berasal dari keluarga dengan pola pengasuhan yang tidak sehat. Kegagalan orang tua dalam pengasuhan dan manajemen keluarga menciptakan mata rantai persoalan yang langsung berdampak pada kondisi mental dan perilaku anak.

Banyak anak tumbuh di lingkungan yang tidak aman, minim pendampingan, bahkan mengalami kekerasan psikis maupun fisik. Fenomena ini dikenal sebagai toxic parenting, ketika pola asuh orang tua justru meracuni perkembangan mental anak. Ipa menegaskan bahwa yang paling fatal adalah ketika orang tua merusak mental anak, baik secara psikis maupun fisik. Ini disebut sebagai toxic parent dan toxic parenting.

Seharusnya, keluarga menjadi ruang paling aman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang. Namun kenyataannya di Kota Tasikmalaya, tidak sedikit keluarga yang gagal menjalankan fungsi tersebut. Akibatnya, anak tumbuh dengan kondisi mental rapuh yang kemudian termanifestasi dalam perilaku menyimpang. Ipa menilai banyak orang tua belum memiliki kesiapan yang cukup dalam merawat dan mendidik anak, baik dari sisi pengetahuan, kesiapan mental, maupun ekonomi.

Data Riset Terbaru:
Studi dari UNICEF 2025 menunjukkan bahwa 60% kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia berawal dari lingkungan keluarga. Sementara riset dari Kemen PPPA 2024 menyebutkan bahwa 45% remaja yang terlibat tindak kriminal memiliki latar belakang keluarga dengan pola asuh otoriter atau permisif ekstrem.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Masalah anak di Tasikmalaya bukan hanya soal ketidakpahaman aturan, tapi lebih pada kerusakan fondasi keluarga. Seperti bangunan yang retak pondasinya, ketika struktur keluarga rapuh, maka dampaknya akan merembet ke generasi penerus. Solusi jangka panjang harus menyentuh level keluarga, bukan hanya penanganan gejala di permukaan.

Studi Kasus:
Sebuah kasus di tahun 2025 menunjukkan seorang remaja pelaku tawuran ternyata berasal dari keluarga dengan pola asuh kekerasan fisik. Ayahnya menggunakan kekerasan sebagai metode disiplin, dan ibunya pasif. Remaja ini kemudian meniru pola kekerasan tersebut di lingkungan sekolah dan masyarakat.

Infografis (deskripsi):
Grafik menunjukkan hubungan sebab-akibat: Orang tua bermasalah → pola asuh tidak sehat → anak bermasalah → perilaku menyimpang → masalah sosial. Diagram ini menggambarkan betapa pentingnya intervensi di level keluarga untuk memutus mata rantai permasalahan.

Orang tua adalah guru pertama dan utama bagi anak-anaknya. Ketika fondasi keluarga retak, generasi penerus pun ikut terguncang. Perlu kesadaran kolektif bahwa membangun generasi unggul dimulai dari memperbaiki pola asuh di setiap rumah tangga. Investasi terbaik untuk masa depan bukan hanya infrastruktur fisik, tapi juga infrastruktur mental keluarga. Yuk, jadikan rumah sebagai benteng pertama yang melindungi dan mendidik generasi penerus!

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan