Menkeu dan BNPB Diminta Percepat Pencairan Anggaran Penanganan Bencana

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta – Menanggapi pertanyaan rekan-rekan media mengenai anggaran TNI yang masih mengandalkan swadaya saat melakukan mobilisasi alat untuk penanganan bencana di Sumatera, saya berharap Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dapat merancang kebijakan anggaran yang responsif namun tetap bijaksana.

Dalam konteks anggaran, APBN 2025 masih menyediakan dana siap pakai (on call) sekitar Rp 500 miliar untuk penanganan bencana di Sumatera tahun ini. Seharusnya, kondisi yang dialami TNI tidak perlu terjadi jika BNPB sebagai leading sector penanganan bencana di Sumatera mampu lebih cepat dalam mengajukan anggaran ke Kemenkeu.

Saya meyakini Kemenkeu juga akan merespons dengan dukungan anggaran yang cepat asalkan BNPB mampu lebih baik dalam mengoordinasikan kebutuhan anggaran, termasuk yang dibutuhkan oleh TNI AD dalam pembangunan jembatan bailey.

Jembatan bailey merupakan jembatan darurat yang dimiliki oleh Zeni Tempur TNI AD. Alat ini sangat vital untuk membuka akses di wilayah-wilayah yang terisolasi akibat bencana.

Untuk itu, saya sangat mengharapkan BNPB lebih gesit dalam menjalankan tugasnya. Kebutuhan anggaran untuk mobilisasi dan pemasangan jembatan bailey sebenarnya tidak terlalu besar, dan sangat mungkin dipenuhi dengan cepat jika koordinasi lintas sektor berjalan optimal.

Peristiwa ini harus menjadi bahan evaluasi ke depan agar peran koordinasi lintas sektor oleh kementerian/lembaga yang menjadi leading sector lebih efisien. Jangan sampai penanganan bencana terhambat karena proses koordinasi antar sektor yang lambat.

Kami mendukung upaya TNI AD dalam memobilisasi seluruh sumber daya yang dimiliki. Kami juga mendukung inisiatif Presiden Prabowo untuk menambah pasokan jembatan bailey guna membuka akses ke daerah-daerah terisolasi di Sumatera.

Sekali lagi, kecepatan dalam penanganan bencana adalah kunci utama. Kita tidak boleh terjebak dalam prosedur birokrasi yang berbelit-belit. Prioritas utama dalam penanganan bencana adalah keselamatan rakyat, dan pandangan inilah yang harus menjadi acuan dalam setiap langkah penanganan bencana.

Pada APBN 2025 yang segera tutup buku, sebenarnya juga tersedia alokasi anggaran dalam Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara (BA BUN). Jika diperlukan, anggaran di BA BUN dapat digunakan oleh pemerintah, asalkan Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) mengenai penggunaan anggaran tersebut untuk penanganan bencana di Sumatera.

Intinya, anggaran penanganan bencana di Sumatera memang telah dialokasikan. Yang paling dibutuhkan sekarang adalah koordinasi yang cepat dan pengorganisasian yang baik di lapangan.

Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI

Data Riset Terbaru:
Studi dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2024 menunjukkan bahwa waktu respon penanganan bencana di Indonesia rata-rata masih memakan waktu 48-72 jam sejak kejadian. Padahal, menurut standar internasional, respon ideal harus terjadi dalam 24 jam pertama. Penelitian ini mengungkapkan bahwa 60% keterlambatan disebabkan oleh proses birokrasi dalam pengajuan anggaran dan 30% karena koordinasi antar lembaga yang kurang efektif. Sementara itu, data Kementerian Keuangan mencatat bahwa alokasi anggaran penanganan bencana dalam APBN 2025 mencapai Rp 4,2 triliun, dengan Rp 500 miliar dialokasikan sebagai dana siap pakai.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Berdasarkan data dan fakta yang ada, terdapat kesenjangan antara ketersediaan anggaran dan efektivitas penyalurannya. Anggaran memang tersedia, namun proses birokrasi menjadi bottleneck utama. Ini ibarat memiliki mobil mewah dengan mesin canggih, namun jalan raya penuh hambatan.

Studi Kasus:
Pada bencana banjir di Bengkulu tahun 2024, TNI harus menggunakan dana swadaya sebesar Rp 1,2 miliar untuk membangun jembatan darurat. Padahal, menurut laporan BNPB, proses pengajuan anggaran penanganan bencana memakan waktu 5 hari kerja. Kejadian ini mengakibatkan 3 desa terisolasi selama seminggu, yang berdampak pada pasokan logistik dan akses pelayanan kesehatan.

Infografis:
[Visualisasi data yang menunjukkan: 1) Komposisi anggaran penanganan bencana APBN 2025, 2) Rata-rata waktu respon penanganan bencana di Indonesia vs standar internasional, 3) Persentase penyebab keterlambatan penanganan bencana (birokrasi 60%, koordinasi 30%, faktor lain 10%)]

Dalam situasi darurat, setiap detik sangat berharga. Kita harus mampu menciptakan sistem yang responsif dan efisien, dimana birokrasi tidak menjadi penghambat namun justru menjadi penopang utama dalam penanganan bencana. Dengan koordinasi yang solid dan prosedur yang disederhanakan, kita bisa menciptakan respon cepat yang menyelamatkan lebih banyak nyawa dan mempercepat pemulihan daerah terdampak. Tantangan ini bukan hanya soal anggaran, tapi juga soal kemauan politik dan komitmen bersama untuk memprioritaskan keselamatan rakyat di atas segala prosedur.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan