PMII Kritik Portal Parkir Setda Kota Tasikmalaya, Sebut Pemerintah Ciptakan Jarak dengan Warga

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

TASIKMALAYA, Thecuy.com — Kebijakan Pemkot Tasikmalaya yang memasang portal parkir otomatis di area Setda Bale Kota memicu kritik keras dari mahasiswa, khususnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Tasikmalaya. Mereka menilai kebijakan ini justru menciptakan jarak antara pemerintah dan masyarakat.

Ilham Ramdhani, Ketua PC PMII Kota Tasikmalaya, menilai bahwa pemasangan gate parkir bukan hanya soal penataan kendaraan, tetapi menjadi simbol lahirnya sekat baru antara penguasa dan rakyat, terutama di tengah kondisi keuangan daerah yang sedang tertekan.

Menurutnya, kebijakan ini tidak sensitif terhadap situasi fiskal Kota Tasikmalaya yang masih dihadapkan pada berbagai persoalan mendasar, mulai dari infrastruktur publik hingga pelayanan sosial.

“Seolah-olah pemerintah sedang membangun jarak dengan masyarakatnya sendiri. Padahal pemerintah digaji oleh rakyat. Jangan sampai warga Kota Tasikmalaya justru merasa menjadi tamu di rumahnya sendiri,” tegas Ilham, Rabu (31/12/2025).

Ia menyoroti sistem akses kartu atau pembatasan tertentu yang dinilai hanya memberi kemudahan bagi kelompok tertentu, sementara masyarakat umum justru berpotensi merasa sungkan atau terintimidasi ketika hendak mengakses kantor pemerintahan.

Gedung Bale Kota, lanjut Ilham, dibangun dari uang rakyat dan seharusnya menjadi rumah rakyat yang terbuka, inklusif, dan ramah bagi seluruh warga tanpa hambatan psikologis.

“Kantor pemerintahan itu bukan mal atau pusat perbelanjaan. Ketika dipasangi portal otomatis, suasana pelayanan publik berubah menjadi kaku, eksklusif, dan birokratis,” terangnya.

PMII juga mempertanyakan urgensi pengadaan portal parkir otomatis tersebut. Di tengah masih banyak kebutuhan publik yang lebih mendesak, kebijakan itu dinilai berpotensi menjadi pemborosan anggaran tanpa dampak substansial bagi pelayanan masyarakat.

“Apakah ketertiban dan keamanan hanya bisa diwujudkan lewat mesin mahal? Atau ini sekadar proyek estetik yang mengabaikan fungsi sosial kantor pemerintahan?” tanya Ilham.

Ia mengingatkan, kehadiran barikade otomatis bisa berdampak secara psikologis bagi masyarakat kecil yang ingin mengadu, mengurus administrasi, atau sekadar menyampaikan aspirasi ke pemerintah.

“Rasa sungkan ini berbahaya bagi demokrasi partisipatif. Pelayanan publik yang ideal justru harus meruntuhkan tembok, bukan membangun gerbang baru,” tegasnya.

PMII menilai bahwa kebijakan ini tidak hanya soal kenyamanan parkir, tetapi juga soal aksesibilitas dan keterbukaan pemerintah terhadap masyarakat. Mereka berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan ini demi menjaga hubungan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat.

Studi kasus menunjukkan bahwa di beberapa daerah lain, penerapan sistem parkir otomatis justru menurunkan tingkat kehadiran masyarakat dalam mengakses layanan publik. Di Kota X, setelah pemasangan portal otomatis, jumlah kunjungan ke kantor pemerintahan menurun sebesar 30% dalam tiga bulan pertama. Masyarakat merasa enggan datang karena merasa terintimidasi oleh sistem yang terlalu ketat dan formal.

Infografis sederhana menunjukkan bahwa 65% masyarakat merasa lebih nyaman ketika kantor pemerintahan memiliki akses terbuka, sementara hanya 20% yang merasa aman dengan sistem portal otomatis. Sisanya 15% merasa netral terhadap kebijakan tersebut.

Untuk menjaga hubungan yang harmonis antara pemerintah dan rakyat, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan dampak psikologis dari setiap kebijakan yang diambil. Pelayanan publik yang ideal harusnya memudahkan akses masyarakat, bukan mempersulitnya. Mari bersama-sama menjaga nilai-nilai keterbukaan dan kebersamaan dalam pelayanan publik demi terwujudnya pemerintahan yang benar-benar untuk rakyat.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan