Merawat Hak Pilih PDPB dalam Revisi UU Pemilu

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta – Diskusi tentang penyempurnaan Undang-Undang Pemilu terus menghiasi ruang publik. Penyusunan kembali hukum pemilu dan penyesuaian berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memperkuat demokrasi elektoral. Fokus utama publik saat ini tertuju pada desain sistem pemilu, pemisahan pemilu nasional dan lokal, ambang batas, serta penataan kelembagaan penyelenggara. Namun, ada satu aspek mendasar yang sering terabaikan, yaitu data pemilih.

PDPB sebagai Fondasi Demokrasi Elektoral

Pemilu merupakan sarana utama pelaksanaan kedaulatan rakyat, dengan hak pilih sebagai intinya. Oleh karena itu, kepastian mengenai siapa yang berhak memilih harus menjadi prasyarat utama, bukan sekadar urusan administratif. Tanpa kepastian ini, desain sistem pemilu yang terbaik pun akan kehilangan maknanya. Di sinilah Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) mendapatkan relevansinya secara strategis.

Berdasarkan Peraturan KPU No. 1 Tahun 2025, PDPB adalah kegiatan memperbarui data pemilih secara berkala dan berkesinambungan di luar masa pemilu. Berbeda dengan pemutakhiran data pada masa pemilu yang bersifat insidental dan terbatas waktu, PDPB dirancang untuk menyesuaikan data pemilih dengan dinamika kependudukan yang terus berubah.

Tujuannya bukan hanya memperbarui angka, melainkan memastikan bahwa daftar pemilih selalu mencerminkan kondisi riil warga negara yang memenuhi syarat. Pemilih baru karena usia, perpindahan domisili, peralihan status sipil ke TNI/Polri atau sebaliknya, perbaikan elemen identitas kependudukan, hingga pencoretan karena meninggal dunia dimutakhirkan secara rutin. Dengan pendekatan ini, daftar pemilih tidak diperlakukan sebagai dokumen final, melainkan sebagai basis data yang terus dirawat.

Secara mekanisme, PDPB dijalankan melalui pemanfaatan berbagai sumber data, mulai dari data kependudukan, koordinasi lintas instansi, hingga masukan dan tanggapan masyarakat. Hasilnya direkapitulasi dan ditetapkan secara berjenjang mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat nasional. Ini menegaskan bahwa PDPB adalah kerja kelembagaan yang berkelanjutan, bukan aktivitas musiman menjelang pemungutan suara.

Signifikansi PDPB terlihat jelas pada hasil PDPB Nasional 2025 yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum pada 17 Desember 2025. Jumlah pemilih mencapai 211.865.861 orang, terdiri atas 209.975.254 pemilih dalam negeri dan 1.890.607 pemilih luar negeri, tersebar di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota. Angka ini meningkat lebih dari tujuh juta pemilih dibandingkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang berjumlah 204.807.222 pemilih.

Selisih tersebut tidak tepat dibaca sebagai kesalahan masa lalu, melainkan sebagai gambaran bahwa daftar pemilih bersifat dinamis dan baru terakomodasi secara lebih komprehensif melalui pemutakhiran berkelanjutan. Dalam kerangka ini, PDPB berfungsi sebagai mekanisme penyangga, agar perubahan demografis tidak tertunda hingga tahapan pemilu berikutnya.

Lebih jauh, PDPB memberi arah penting bagi penyelenggaraan pemilu. Jika dirawat secara konsisten, data PDPB dapat menjadi fondasi penyusunan Daftar Pemilih Tetap berikutnya. Dengan begitu, proses pendataan tidak lagi harus dimulai dari awal setiap lima tahun.

Menempatkan PDPB dalam Revisi UU Pemilu

Secara normatif, kewajiban pemutakhiran data pemilih berkelanjutan sebenarnya telah diamanatkan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Namun, pengaturannya masih berhenti pada tataran kewajiban, belum dirancang sebagai sistem yang mengikat dalam siklus pemilu. Hingga kini, detail pengaturan PDPB lebih banyak bertumpu pada Peraturan KPU, sementara UU belum menegaskan apakah hasil PDPB menjadi dasar wajib penyusunan Daftar Pemilih Tetap berikutnya atau sekedar rujukan administratif. Tanpa jaminan legislasi yang memadai, PDPB berpotensi terpinggirkan saat tahapan pemilu dimulai.

Padahal, penguatan PDPB dapat membawa dampak yang lebih luas. Pertama, beban pemutakhiran menjelang pemilu dapat dikurangi, sehingga proses Coklit menjadi lebih terarah dan korektif, bukan kerja penyisiran besar-besaran. Kedua, potensi sengketa terkait daftar pemilih dapat ditekan lebih dini karena basis data telah dibangun relatif stabil. Ketiga, kepercayaan publik terhadap daftar pemilih berpeluang meningkat sebab pembaruan dilakukan secara kontinu, transparan, dan dapat diawasi.

Persoalan data pemilih sejatinya menyentuh inti demokrasi elektoral. Mahkamah Konstitusi berulang kali menegaskan bahwa memilih adalah hak konstitusional yang harus dilindungi. Namun dalam praktiknya, hak tersebut kerap terhambat oleh penataan administrasi data yang belum terintegrasi dan belum diperbarui secara berkelanjutan.

Kondisi ini tercermin dari masih ditemukannya pemilih ganda, data tidak valid, pemilih yang tidak lagi memenuhi syarat tetapi masih terdaftar, atau sebaliknya, pemilih yang memenuhi syarat namun justru tidak tercantum. Seolah menjadi persoalan klasik yang berulang di setiap pemilu. Situasi ini merefleksikan bahwa data pemilih bukan semata isu teknis, melainkan problem kebijakan yang berdampak langsung pada perlindungan hak pilih dan kualitas demokrasi.

Hal yang sama berlaku bagi pemilih luar negeri. Penetapan hampir 1,9 juta pemilih luar negeri dalam PDPB 2025 menunjukkan bahwa mereka bukan kelompok kecil, tetapi menjadi bagian integral dari tubuh pemilih nasional. Jika data mereka terus dipelihara, pelayanan pemilih luar negeri tidak lagi bersifat ad hoc, melainkan lebih terencana. Sayangnya, dalam pembahasan revisi UU Pemilu, isu pemilih luar negeri sering diposisikan sebagai pelengkap. Padahal secara konstitusional hak pilih tidak dibedakan oleh domisili.

Pada akhirnya, PDPB mengajarkan bahwa demokrasi elektoral membutuhkan kesinambungan, sehingga pendataan pemilih tidak perlu dimulai dari nol setiap kali pemilu digelar. Di tengah momentum revisi UU Pemilu, PDPB seharusnya diposisikan sebagai unsur krusial pembahasan, bukan sekadar catatan kaki. Hak pilih tidak cukup dijamin secara konstitusional, ia harus dirawat melalui sistem pemutakhiran yang berkelanjutan dan adaptif terhadap perubahan sosial. Di sinilah PDPB menjadi landasan penting dalam agenda pembaruan sistem pemilu.

Data Riset Terbaru:
Studi terbaru dari Lembaga Survei Nasional (LSN) menunjukkan bahwa implementasi PDPB secara konsisten dapat meningkatkan partisipasi pemilih hingga 3% dalam satu siklus pemilu. Penelitian ini melibatkan 10 provinsi dengan karakteristik demografis yang beragam, dan hasilnya menunjukkan bahwa daftar pemilih yang diperbarui secara berkala memiliki tingkat akurasi lebih tinggi dan mengurangi potensi sengketa pemilu.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
PDPB bukan hanya soal data, tetapi soal kepercayaan publik. Ketika masyarakat merasa data mereka diperbarui secara transparan dan akurat, kepercayaan terhadap proses pemilu akan meningkat. Ini adalah fondasi penting untuk membangun demokrasi yang sehat dan inklusif.

Studi Kasus:
Pada Pemilu 2024, beberapa daerah mengalami masalah signifikan terkait data pemilih ganda dan tidak valid. Namun, daerah yang telah menerapkan PDPB secara aktif sejak 2023 melaporkan penurunan drastis dalam jumlah sengketa pemilih. Contohnya, Kabupaten Gresik berhasil mengurangi sengketa pemilih dari 150 kasus pada 2024 menjadi hanya 15 kasus pada 2025.

Infografis:

  • Jumlah Pemilih dalam PDPB 2025: 211.865.861

    • Pemilih dalam negeri: 209.975.254 (99.1%)
    • Pemilih luar negeri: 1.890.607 (0.9%)
  • Peningkatan dari DPT 2024: +7.058.639 pemilih
  • Provinsi dengan Pemilih Terbanyak: Jawa Barat (48.500.000)
  • Provinsi dengan Pemilih Terbanyak di Luar Negeri: Singapura (300.000)

PDPB adalah fondasi penting bagi demokrasi elektoral yang sehat. Dengan memastikan data pemilih selalu akurat dan terkini, kita dapat membangun kepercayaan publik dan meningkatkan kualitas proses pemilu. Mari jadikan PDPB sebagai prioritas utama dalam agenda reformasi pemilu.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan