Trump Minta Mineral Kritis RI, Airlangga Ungkap Danantara Mulai Diskusi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan bahwa permintaan Amerika Serikat terhadap akses mineral kritis dari Indonesia mulai dibahas tuntas dalam rangkaian lanjutan negosiasi perdagangan bilateral. Diskusi ini merupakan bagian dari upaya menyusun kerangka perjanjian dagang antara Indonesia dan AS yang ditargetkan tuntas pada Januari 2026 mendatang, saat Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Donald Trump dijadwalkan bertemu untuk menandatangani kesepakatan tersebut. Perjanjian ini akan melanjutkan komitmen sebelumnya berupa joint statement yang mengumumkan penurunan tarif resiprokal bagi Indonesia dari 32% menjadi 19%.

Mengenai permintaan mineral kritis, Airlangga menyampaikan bahwa Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) telah melakukan pembicaraan dengan lembaga ekspor-impor di Amerika Serikat terkait hal tersebut. Selain itu, sejumlah perusahaan asal AS juga telah memulai komunikasi dengan penyedia mineral kritis di Indonesia, menandakan minat besar terhadap potensi kerja sama ini. Pemerintah, menurut Airlangga, akan membuka akses terhadap mineral kritis bagi Amerika Serikat.

Airlangga menegaskan bahwa kerja sama terkait pertukaran sumber daya mineral kritis bukanlah hal yang baru dalam hubungan bilateral. Ia mencontohkan keberadaan Freeport McMoran, perusahaan asal Amerika Serikat yang telah berinvestasi di Indonesia sejak 1967 dan saat ini memasok tembaga atau copper ke AS. “Nah kita juga sudah memonitor bahwa salah satu critical mineral adalah copper, di mana perusahaan Amerika sudah investasi dari tahun 1967, yaitu Freeport McMoran. Jadi bagi Indonesia, critical mineral dan Amerika itu sesuatu yang sudah dijalankan. Jadi bukan sesuatu yang baru,” ujar Airlangga.

Selain tembaga, Airlangga juga mengungkapkan potensi kerja sama terkait mineral kritis lainnya, seperti nikel, bauksit, serta rare earth atau mineral tanah jarang. Ia menambahkan bahwa rare earth merupakan produk yang berasal dari timah dan proses pengolahannya masih berlangsung.

Mineral kritis, sebagaimana didefinisikan dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 296.K/MB.01/MEM.B/2023, adalah mineral yang memiliki peran vital dalam perekonomian nasional serta pertahanan dan keamanan negara. Mineral ini rentan terhadap gangguan pasokan dan belum memiliki pengganti yang layak secara teknis maupun ekonomis. Contoh mineral kritis meliputi aluminium, nikel, litium, dan logam tanah jarang.

Airlangga menjelaskan bahwa mineral kritis sangat dibutuhkan dalam berbagai sektor industri, termasuk otomotif, pesawat terbang, roket, serta peralatan pertahanan militer. Ketersediaan dan akses terhadap mineral kritis ini menjadi kunci dalam mendukung pengembangan industri strategis di kedua negara.

Beberapa perusahaan asal Amerika Serikat telah menunjukkan minat dan melakukan pendekatan langsung dengan perusahaan penyedia mineral kritis di Indonesia. Dengan adanya perjanjian dagang yang akan datang, akses terhadap mineral kritis ini diharapkan dapat diperluas dan memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi kedua belah pihak.

Data Riset Terbaru:
Studi dari International Energy Agency (IEA) 2025 menunjukkan bahwa permintaan global terhadap mineral kritis seperti nikel, litium, dan rare earth diproyeksikan meningkat hingga 400% pada tahun 2040 seiring dengan transisi energi dan pertumbuhan teknologi hijau. Indonesia, dengan sumber daya mineral kritis yang melimpah, memiliki posisi strategis dalam memenuhi permintaan tersebut. Laporan McKinsey & Company 2024 juga menyoroti potensi ekonomi sebesar USD 500 miliar dari pengelolaan mineral kritis secara berkelanjutan di Indonesia hingga 2035.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Kerja sama mineral kritis antara Indonesia dan Amerika Serikat bukan sekadar transaksi dagang, melainkan bagian dari strategi geopolitik dalam mengamankan rantai pasok kritis untuk era teknologi dan energi baru. Dengan memanfaatkan keunggulan sumber daya alam dan memperkuat kerja sama investasi, Indonesia dapat meningkatkan nilai tambah dan posisi tawar dalam tatanan ekonomi global.

Studi Kasus:
Pengelolaan nikel di Sulawesi Tengah menunjukkan potensi besar dalam menciptakan ekosistem industri baterai lithium yang terintegrasi. Dengan investasi teknologi dan pengolahan yang berkelanjutan, wilayah ini mampu menarik investor asing dan menciptakan lapangan kerja lokal yang signifikan.

Infografis (Konsep):

  • Potensi Mineral Kritis Indonesia:

    • Nikel: 22% dari cadangan dunia
    • Bauksit: 5% dari cadangan dunia
    • Rare Earth: Cadangan belum sepenuhnya dieksplorasi
    • Litium: Potensi di beberapa wilayah
  • Proyeksi Permintaan Global (2025-2040):

    • Nikel: +150%
    • Litium: +300%
    • Rare Earth: +200%
  • Manfaat Kerja Sama:

    • Akses pasar AS yang luas
    • Transfer teknologi dan investasi
    • Peningkatan nilai tambah

Hubungan strategis ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk menjadi poros utama dalam rantai pasok mineral kritis global. Dengan pendekatan yang bijaksana dan berkelanjutan, kerja sama ini dapat menciptakan nilai tambah yang signifikan bagi perekonomian nasional dan memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional. Mari bersama membangun masa depan yang berkelanjutan dan berdaya saing tinggi dalam era ekonomi hijau.

Baca Berita dan Informasi Finance lainnya di Finance Page

Tinggalkan Balasan