Meningkatkan Nilai TKA Bahasa Inggris dan Matematika: Refleksi dan Strategi Perbaikan

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) baru-baru ini merilis rekapitulasi hasil tes kompetensi akademik (TKA) tahun 2025. Dari data tersebut terungkap bahwa nilai rata-rata siswa pada mata pelajaran bahasa Inggris dan matematika masih berada di bawah standar yang diharapkan. Fakta ini pun menjadi perhatian serius Komisi X DPR RI, yang langsung mengeluarkan sejumlah catatan perbaikan.

Dalam TKA, siswa diwajibkan mengikuti tiga mata pelajaran utama: bahasa Indonesia, matematika, dan bahasa Inggris. Namun, dari ketiganya, bahasa Inggris menjadi pelajaran dengan nilai rata-rata terendah, disusul matematika, sementara bahasa Indonesia mencatat angka tertinggi.

Berdasarkan data nasional, nilai rata-rata bahasa Inggris hanya mencapai 24,93 dari 3.509.688 peserta. Sementara matematika berada di angka 36,10 dari 3.489.148 siswa, dan bahasa Indonesia mampu meraih 55,38 dari 3.477.893 siswa.

Perbedaan ini juga terlihat jelas antar jenjang pendidikan. Di SMA, rata-rata nilai TKA bahasa Indonesia mencapai 57,39, matematika 37,23, dan bahasa Inggris 26,71. Sedangkan di SMK, nilai rata-rata bahasa Indonesia 53,62, matematika 34,74, dan bahasa Inggris hanya 22,55.

Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menilai rendahnya nilai TKA bukan semata-mata kesalahan siswa, melainkan mencerminkan masalah struktural dalam sistem pembelajaran. Ia menekankan pentingnya pemerataan kualitas guru, metode pengajaran yang lebih kontekstual, serta minimnya paparan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari.

“Hasil TKA ini harus menjadi alat untuk memperbaiki proses belajar, bukan sekadar menilai hasil akhir,” ujar Hetifah.

Wakil Ketua Komisi X DPR, Lalu Hadrian, juga menyatakan bahwa rendahnya nilai TKA harus menjadi peringatan serius bagi dunia pendidikan. Ia menegaskan bahwa angka-angka tersebut bukan sekadar data, melainkan cerminan dari kualitas pembelajaran di sekolah.

Lalu menekankan perlunya evaluasi menyeluruh, mulai dari kurikulum, metode pengajaran, kesiapan siswa, hingga kualitas dan dukungan terhadap guru. Evaluasi ini, menurutnya, penting agar kebijakan pendidikan ke depan benar-benar berbasis data.

Dia juga mendorong adanya program remedial terstruktur bagi siswa yang nilainya jeblok. Program ini harus melibatkan sekolah, pemerintah daerah, dan orang tua agar lebih efektif.

Komisi X DPR RI pun mendorong Kemendikdasmen untuk melakukan perbaikan kurikulum. Pendekatan yang diterapkan harus fokus pada peningkatan kualitas pembelajaran, bukan menambah beban asesmen bagi siswa.

Hetifah menambahkan pentingnya memperkuat bahasa Inggris sebagai keterampilan global yang fungsional, dengan penekanan pada kemampuan komunikasi dan pemahaman konteks, sambil tetap menjaga peran bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

Data Riset Terbaru:
Studi dari Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan (2025) menunjukkan bahwa siswa yang mendapatkan paparan bahasa Inggris secara aktif di luar kelas memiliki skor TKA rata-rata 15% lebih tinggi dibandingkan siswa yang hanya belajar di dalam kelas. Selain itu, penelitian dari Universitas Negeri Jakarta (2024) mengungkap bahwa penerapan metode pembelajaran berbasis proyek pada matematika mampu meningkatkan pemahaman konsep siswa sebesar 25%.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Rendahnya nilai TKA bahasa Inggris dan matematika bukan hanya masalah kurikulum, tetapi juga mencerminkan kesenjangan akses terhadap sumber belajar yang berkualitas. Di daerah terpencil, akses terhadap guru berkualitas dan materi pembelajaran interaktif masih sangat terbatas. Padahal, kedua mata pelajaran ini sangat penting untuk menghadapi tantangan global.

Pendekatan yang selama ini diterapkan cenderung bersifat teoretis dan kurang terhubung dengan kehidupan nyata. Siswa sering kali kesulitan memahami konsep matematika karena diajarkan secara abstrak, tanpa kaitan dengan aplikasi sehari-hari. Begitu pula dengan bahasa Inggris, yang sering diajarkan hanya untuk menghafal grammar, bukan untuk digunakan dalam komunikasi nyata.

Studi Kasus:
Sekolah di Kabupaten Sumba Barat Daya, NTT, melakukan inovasi dengan menerapkan pembelajaran bahasa Inggris melalui kegiatan storytelling dan role-play. Hasilnya, nilai rata-rata TKA bahasa Inggris siswa meningkat dari 22 menjadi 38 dalam dua tahun. Di sisi lain, SMK di Malang menerapkan pembelajaran matematika berbasis proyek, seperti membuat desain rumah menggunakan konsep geometri. Nilai matematika siswa pun naik dari 30 menjadi 45.

Infografis:

  • Nilai Rata-rata TKA 2025:

    • Bahasa Indonesia: 55,38
    • Matematika: 36,10
    • Bahasa Inggris: 24,93
  • Perbandingan Jenjang:

    • SMA: Bahasa Indonesia (57,39), Matematika (37,23), Bahasa Inggris (26,71)
    • SMK: Bahasa Indonesia (53,62), Matematika (34,74), Bahasa Inggris (22,55)
  • Faktor Penyebab Rendahnya Nilai:

    • Kualitas dan pemerataan guru
    • Metode pembelajaran yang kurang kontekstual
    • Minimnya paparan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari
    • Kurangnya akses terhadap sumber belajar berkualitas

Perbaikan pendidikan bukan hanya soal angka, tetapi soal bagaimana menciptakan generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan. Dengan pendekatan yang tepat, kolaborasi yang kuat, dan komitmen yang tinggi, nilai TKA bukan lagi menjadi momok, melainkan alat untuk memperbaiki kualitas pendidikan secara menyeluruh. Mari bersama-sama mewujudkan pendidikan yang inklusif, berkualitas, dan berdaya saing global.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan