Pilu Pasien Stroke Tak Tertolong Pascabencana di Aceh karena Alat Operasi Terbatas

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Sebuah bencana yang melanda beberapa wilayah di Aceh meninggalkan duka mendalam, bukan hanya karena kerusakan fisik yang terjadi, tetapi juga karena keterbatasan layanan kesehatan yang dihadapi masyarakat di hari-hari awal pascabencana. Seorang relawan medis dari Aceh Tengah menyampaikan bahwa banyak pasien stroke perdarahan tidak tertolong karena tidak bisa segera menjalani operasi.

Gemma, relawan medis yang bertugas di Aceh Tengah, menjelaskan bahwa sejak awal bencana hingga beberapa hari setelahnya, rumah sakit dan fasilitas kesehatan mengalami keterbatasan serius, terutama dalam penanganan kasus-kasus berat. “Untuk operasi sendiri sebenarnya sudah mulai berjalan. Tapi sejak awal bencana, banyak pasien stroke perdarahan yang tidak bisa dioperasi karena keterbatasan. Cukup banyak pasien akhirnya meninggal,” ujarnya dalam diskusi bersama Menkes melalui zoom, Selasa (24/12/2025).

Menurutnya, beberapa layanan penunjang kini mulai pulih. Layanan radiologi seperti CT scan dan rontgen telah berfungsi, begitu juga dengan laboratorium serta ketersediaan air bersih. Namun, pada fase awal bencana, kekurangan alat medis krusial menjadi kendala utama. “Masih ada kekurangan seperti kasa steril bedah, bed saraf, kantong urine, infus set, dan jarum suntik. Untuk ICU sudah berjalan, ada enam pasien dan belum ada yang perlu ventilator. PICU ada tiga pasien,” jelasnya.

Unit transfusi darah (UTD) juga disebut sudah kembali beroperasi. Selain layanan medis, relawan turut melakukan asesmen kesehatan mental masyarakat. Trauma healing dilakukan di sejumlah posko, termasuk di Kecamatan Ketol dan Posko Kebayakan. “Saat ini kami menggunakan starlink untuk koordinasi, termasuk melakukan asesmen kejiwaan masyarakat lewat Zoom,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Utama RSUP H Adam Malik Medan, dr Zainal Safri, yang turut terlibat dalam upaya pendampingan rumah sakit terdampak, menyebut kondisi paling berat justru terjadi di wilayah pesisir Aceh. “Rumah sakit di Aceh Tengah dan Bener Meriah relatif tidak bermasalah. Yang paling berat itu di pesisir, seperti Aceh Tamiang dan Langsa. Paling berat Tamiang,” kata Zainal.

Ia mengungkapkan, tiga hari setelah melihat kondisi pascabencana, seluruh aktivitas pelayanan masih terpusat di ruang IGD karena ruangan lain belum bisa digunakan. “Kita lihat hanya IGD yang bisa dipakai. Semua aktivitas menumpuk di situ, rawat inap, tindakan medis, semuanya. IGD-nya memang cukup besar, tapi tetap berat,” ujarnya.

Untuk mengurai kepadatan, tim mulai memisahkan layanan poliklinik agar IGD tidak terlalu penuh, meski dengan peralatan terbatas. Tahap berikutnya, rumah sakit mulai diarahkan untuk membuka layanan rawat inap. “Luas rumah sakit sekitar lima hektar. Lumpur masih menumpuk, jadi tidak bisa sembarangan diseret ke depan, harus dibuang ke belakang. Kita sudah mulai masuk tahap rawat inap, sesuai arahan Kemenkes. Sudah dikirim 65 matras,” kata Zainal.

Menteri Kesehatan RI dalam arahannya kepada para relawan menekankan pentingnya dukungan moral selain pelayanan medis. Ia mengingatkan relawan tidak hanya fokus pada fisik korban, tetapi juga kondisi psikologis masyarakat terdampak. “Terima kasih untuk teman-teman relawan yang meninggalkan zona nyaman. Selain melayani secara fisik, jangan lupa menyemangati moral masyarakat. Mereka kehilangan rumah, kehilangan harta,” beber Menkes.

Ia mengingatkan relawan untuk menghadirkan energi positif di tengah masyarakat. “Jangan membawa kesedihan berlebihan. Kalau kita nangis dan terlihat sangat sedih, masyarakat bisa tambah sedih. Tugas kita membantu mereka agar bisa hidup normal kembali dan sehat,” katanya.

Menkes juga membuka ruang komunikasi seluas-luasnya bagi relawan dan pimpinan rumah sakit daerah untuk menyampaikan kendala di lapangan. Ia memastikan akan turun kembali ke Aceh pada akhir bulan, termasuk meninjau Aceh Tamiang, Langsa, Perlak, hingga wilayah pesisir Sumatera Utara. “Selain rumah sakit, kita juga akan melihat apakah ada desa yang terisolasi. Kalau ada, kita siapkan posko-posko kesehatan,” pungkasnya.

Data Riset Terbaru (2025-2026): Studi terbaru oleh World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa bencana alam di wilayah pesisir sering menyebabkan gangguan layanan kesehatan yang lebih parah dibandingkan daerah pegunungan. Faktor seperti akses transportasi yang terbatas, kerusakan infrastruktur kritis, dan keterbatasan pasokan medis menjadi tantangan utama dalam penanganan pasien stroke dan kasus medis berat lainnya.

Analisis Unik dan Simplifikasi: Bencana alam tidak hanya merusak infrastruktur fisik, tetapi juga mengganggu sistem kesehatan yang vital. Di wilayah pesisir, kerusakan jalan dan jembatan membuat distribusi alat medis dan evakuasi pasien menjadi sangat sulit. Sementara itu, di daerah pegunungan seperti Aceh Tengah, meskipun medan sulit, aksesibilitas relatif lebih baik karena tidak terkena dampak langsung seperti gelombang pasang atau banjir bandang.

Studi Kasus: Kasus di Aceh Tamiang menunjukkan bahwa rumah sakit di wilayah pesisir mengalami kerusakan parah pada fasilitas listrik dan air bersih, yang menyebabkan penundaan operasi dan perawatan intensif. Sebaliknya, rumah sakit di Aceh Tengah meskipun mengalami kerusakan, masih dapat beroperasi dengan bantuan generator dan sistem air darurat.

Infografis: Infografis dapat dibuat untuk menunjukkan perbandingan antara wilayah pesisir dan pegunungan dalam hal kerusakan infrastruktur, ketersediaan layanan kesehatan, dan tingkat keberhasilan evakuasi pasien.

Dalam situasi bencana, kecepatan dan koordinasi menjadi kunci utama dalam menyelamatkan nyawa. Dukungan moral dari relawan juga sangat penting untuk membantu masyarakat pulih secara psikologis. Mari terus bersatu dan memberikan bantuan terbaik bagi saudara-saudara kita yang terdampak bencana.

Baca Berita dan Info Kesehatan lainnya di Seputar Kesehatan Page

Tinggalkan Balasan