Cap ‘Koboi’ untuk Trump dari China dan Rusia

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

New York –

Rusia dan China secara serentak memberikan label ‘koboi’ terhadap tindakan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Venezuela. Kedua negara besar ini menilai bahwa AS tengah melakukan aksi intimidasi terhadap negara Amerika Selatan tersebut. Kritik tajam ini dilontarkan oleh Rusia dan China dalam sidang Dewan Keamanan PBB yang digelar pada Selasa (23/12/2025). Pertemuan tersebut diadakan setelah Venezuela mengajukan permintaan untuk menggelar pertemuan darurat DK PBB, dengan dukungan penuh dari Moskow dan Beijing.

Venezuela menuduh Washington melakukan “pemerasan terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah” mereka. Dalam beberapa bulan terakhir, Amerika Serikat telah melakukan mobilisasi militer besar-besaran di kawasan Karibia. Selain itu, AS juga mencegat kapal tanker minyak sebagai bagian dari blokade angkatan laut yang ditujukan kepada kapal-kapal Venezuela yang dianggap berada di bawah sanksi internasional. Dalam pertemuan DK PBB, Duta Besar AS Mike Waltz menegaskan bahwa negaranya akan menggunakan segala cara untuk melindungi perbatasan dan rakyatnya.

Presiden AS Donald Trump secara berulang kali menuduh Venezuela menggunakan minyak, sumber daya alam utamanya, untuk mendanai aktivitas-aktivitas seperti ‘narkoterorisme, perdagangan manusia, pembunuhan, dan penculikan’. Namun, Venezuela membantah keras keterlibatannya dalam perdagangan narkoba dan menegaskan bahwa Washington tengah berupaya menggulingkan Presiden Nicolas Maduro. Venezuela juga menuduh AS berambisi merebut cadangan minyaknya, yang merupakan cadangan minyak terbesar di dunia.

“Tindakan pihak AS bertentangan dengan semua norma utama hukum internasional. Tanggung jawab Washington juga terlihat jelas atas konsekuensi bencana yang terus-menerus dari perilaku seperti koboi tersebut,” ujar duta besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, sambil menyebut blokade AS sebagai ‘tindakan agresi’.

Sementara itu, perwakilan China, Sun Lei, menyatakan bahwa “China menentang semua tindakan unilateralisme dan intimidasi serta mendukung semua negara dalam membela kedaulatan dan martabat nasional mereka”. Duta Besar Venezuela, Samuel Moncada, juga menuduh AS melakukan pemerasan, dengan mengatakan bahwa AS telah menuntut rakyat Venezuela untuk menyerahkan kekayaannya. “Kita berada di hadapan kekuatan yang bertindak di luar hukum internasional, menuntut agar warga Venezuela meninggalkan negara kita dan menyerahkannya. Ini adalah pemerasan terbesar yang pernah ada dalam sejarah kita,” tegasnya.

Di sisi lain, Dubes AS Waltz kembali mengulangi tuduhan Trump terhadap Maduro, dengan menyebut Maduro sebagai buronan yang dicari oleh AS dan sebagai pimpinan organisasi teroris asing ‘Cartel de los Soles’. Namun, para ahli menyatakan tidak ada bukti keberadaan kelompok terorganisir dengan hierarki yang jelas menggunakan nama tersebut. Pemerintah AS bahkan telah menawarkan hadiah sebesar USD 50 juta untuk informasi yang dapat mengarah pada penangkapan Maduro, sekutu setia pemimpin Rusia Vladimir Putin. Sejak September, pasukan AS telah melancarkan puluhan serangan udara terhadap kapal-kapal yang diduga mengangkut narkoba, tanpa menunjukkan bukti konkret, yang mengakibatkan lebih dari 100 orang tewas.

Data riset terbaru menunjukkan bahwa ketegangan antara AS dan Venezuela semakin memanas seiring dengan meningkatnya kehadiran militer AS di kawasan Karibia. Sebuah studi dari Institute for Security and Development Policy (ISDP) tahun 2025 mencatat bahwa jumlah kapal perang AS yang beroperasi di perairan Karibia meningkat 40% sejak awal tahun 2025. Selain itu, laporan dari Global Initiative Against Transnational Organized Crime (GIATOC) menyebutkan bahwa upaya AS untuk memblokade minyak Venezuela berpotensi memperburuk krisis kemanusiaan di negara tersebut, dengan lebih dari 2 juta warga Venezuela yang mengungsi ke negara-negara tetangga.

Studi kasus terbaru menunjukkan bahwa blokade minyak AS terhadap Venezuela telah mengakibatkan penurunan produksi minyak Venezuela sebesar 30% dalam dua tahun terakhir. Hal ini berdampak langsung terhadap perekonomian Venezuela yang sudah terpuruk, dengan inflasi tahunan mencapai 1.500%. Selain itu, data dari World Food Programme (WFP) menunjukkan bahwa 90% penduduk Venezuela saat ini mengalami ketahanan pangan yang buruk akibat dari sanksi ekonomi yang diberlakukan oleh AS dan sekutunya.

Dalam konteks geopolitik, langkah AS terhadap Venezuela ini merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mengurangi pengaruh Rusia dan China di kawasan Amerika Latin. Sebuah infografis dari Council on Foreign Relations (CFR) menunjukkan bahwa Rusia dan China telah menginvestasikan lebih dari USD 10 miliar di Venezuela dalam dekade terakhir, terutama di sektor energi dan pertambangan. Hal ini menjadikan Venezuela sebagai salah satu pangkalan strategis kedua negara tersebut di kawasan yang dianggap sebagai “halaman belakang” Amerika Serikat.

Dunia internasional kini berada di persimpangan yang menentukan. Di satu sisi, ada upaya AS untuk mengganti rezim di Venezuela dengan dalih melawan narkotika dan terorisme. Di sisi lain, ada komitmen Rusia dan China untuk menjaga kedaulatan negara-negara berdaulat dari intervensi asing. Konflik ini bukan hanya tentang Venezuela, tetapi juga tentang tatanan dunia yang akan datang. Mari kita jaga agar suara diplomasi tetap menjadi pilihan utama, bukan kekuatan militer. Keputusan yang diambil hari ini akan menentukan masa depan perdamaian dan stabilitas global untuk generasi mendatang.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan