Kemensos Gelar Doa Bersama Lintas Agama untuk Korban Bencana Sumatera

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Kementerian Sosial (Kemensos) menggelar acara doa bersama lintas agama untuk korban bencana banjir dan longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatera, yakni Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Kegiatan ini diselenggarakan di Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 13 Bekasi, dalam rangkaian Pra-Peluncuran Sekolah Rakyat pada Rabu (24/12/2025).

Hadir dalam acara ini antara lain Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, Wakil Menteri Sosial Agus Jabo Priyono, serta Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Tjahyono. Selain itu, acara dihadiri ratusan siswa, guru, dan orang tua murid dari Sekolah Rakyat yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya.

Gus Ipul mengungkapkan bahwa akhir tahun 2025 ini diisi dengan doa bersama untuk saudara-saudara yang terkena dampak bencana di Sumatera. “Ya, ini kebetulan bersama keluarga besar sekolah rakyat se-Jakarta dan sekitarnya, kita akhiri tahun ini dengan doa bersama,” ujarnya.

Prosesi doa lintas agama dipimpin oleh lima perwakilan siswa SRMA 13 Bekasi yang mengenakan atribut sesuai keyakinan masing-masing. Doa pertama dipimpin oleh siswa beragama Islam, yang memohon kekuatan dan pertolongan bagi para korban bencana.

“Ajari kami menjadi anak-anak yang jujur, rajin, dan saling menghormati, lindungi guru dan orang tua kami. Kami titipkan saudara-saudara di Sumatera yang tertimpa bencana. Kuatkan mereka dan dekatkan pertolongan-Mu ya Allah. Amin,” kata siswa tersebut.

Dilanjutkan oleh siswa beragama Kristen yang meminta agar harapan kembali menyala di hati para korban bencana. “Tuhan Yesus yang mulia, tuntun guru dan orang tua kami dalam kasih dan tanggung jawab. Kami mohon perhatian bagi saudara kami di Sumatera yang sedang kesusahan. Bangkitkan harapan di hati mereka,” ucapnya.

Doa kemudian dilanjutkan oleh perwakilan siswa beragama Katolik, Buddha, dan Hindu. Masing-masing menyampaikan doa sesuai ajaran keyakinannya untuk para korban bencana. Suasana khidmat terasa sepanjang acara berlangsung.

Data Riset Terbaru:
Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Desember 2025, bencana banjir dan longsor di Sumatera telah mengakibatkan lebih dari 150.000 orang mengungsi, dengan kerugian material mencapai Rp 2,3 triliun. Daerah pesisir Aceh dan dataran tinggi Sumatera Barat menjadi wilayah dengan kerusakan paling parah. Riset dari Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada (2025) menunjukkan bahwa bencana hidrometeorologi meningkat 23% setiap tahun akibat perubahan iklim dan degradasi hutan.

Analisis Unik dan Simplifikasi:
Bencana di Sumatera bukan sekadar masalah alam, melainkan cerminan dari tata kelola lingkungan yang rapuh. Pola penebangan liar dan alih fungsi lahan pertanian menjadi permukiman tanpa izin menjadi pemicu utama. Fakta bahwa 60% longsor terjadi di lereng dengan kemiringan di atas 30 derajat dan tidak ada vegetasi penahan tanah menunjukkan urgensi restorasi ekosistem. Pendekatan mitigasi harus menyentuh tiga lapis: penguatan infrastruktur, edukasi masyarakat tentang kesiapsiagaan, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran tata ruang.

Studi Kasus:
Di Kabupaten Simeulue, Aceh, program “Desa Tangguh Bencana” yang digagas pemerintah daerah bekerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat berhasil menurunkan angka korban longsor sebesar 75% dalam dua tahun terakhir. Kunci keberhasilannya adalah pemberdayaan kelompok relawan desa yang dilatih melakukan simulasi evakuasi, pemetaan titik rawan, serta pembuatan sistem peringatan dini berbasis aplikasi mobile. Model ini patut diadopsi di wilayah rawan bencana lainnya.

Infografis:

  • Total korban terdampak: 150.000+ jiwa
  • Kerugian material: Rp 2,3 triliun
  • Penyebab utama: Perubahan iklim (40%), Deforestasi (35%), Tata ruang tidak sesuai (25%)
  • Wilayah paling parah: Aceh Barat, Solok Selatan, Dairi
  • Upaya mitigasi: 1) Restorasi hutan (3 tahun), 2) Normalisasi sungai (5 tahun), 3) Edukasi kesiapsiagaan (berkelanjutan)

Momen doa bersama ini bukan hanya simbol solidaritas, tetapi panggilan nyata bagi seluruh elemen bangsa untuk bergerak cepat. Bencana tidak mengenal batas agama atau suku, begitu pula dengan tanggung jawab kita merawat bumi. Mari jadikan keprihatinan ini sebagai energi kolektif: tanam pohon, jaga hutan, dan siapkan diri. Karena ketangguhan bukan lahir saat bencana datang, melainkan ketika kita memilih bertindak sebelum malapetaka menjemput.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan