Apa musuh utama demokrasi? Waktu! Waktu yang dibutuhkan untuk benar-benar mendengar dan merespons suara rakyat. Maka tak heran, ketika tawaran teknologi — terutama yang berbasis artificial intelligence (AI) — datang untuk memangkas kebutuhan waktu ini, tawaran tersebut langsung menarik perhatian. Namun, pertanyaan krusialnya adalah: apakah pemanfaatan perangkat berbasis AI untuk mewujudkan demokrasi yang lebih baik patut dipertimbangkan secara serius?
Waktu menjadi elemen krusial dalam demokrasi. Ketika sebuah masyarakat memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan, suara yang beragam — baik dalam karakteristik maupun keinginannya — harus didengarkan dan diakomodasi. Waktu menjadi rezim yang harus dipatuhi untuk memastikan proses yang adil dan inklusif. Bentuknya terlihat dalam berbagai mekanisme seperti pemilu, undang-undang, pemisahan kekuasaan antar lembaga negara, hingga distribusi kesejahteraan. Semuanya harus mencerminkan kehendak rakyat.
Dalam konteks pembentukan produk hukum yang dilegitimasi oleh rakyat, David Ingram (2009) dalam penelitiannya “Of Sweatshops and Subsistence: Habermas on Human Rights” merujuk pada gagasan Jurgen Habermas. Filsuf ini menegaskan bahwa tak ada norma atau hukum yang boleh dipaksakan kepada seseorang tanpa persetujuan rasionalnya. Persetujuan rasional ini harus bersifat imparsial, yang diwujudkan melalui orientasi pada kepentingan setiap orang, bukan hanya kelompok tertentu.
Penerapannya harus memperhatikan norma yang setara dan bebas dari pengaruh kekuasaan. Proses persetujuan imparsial ini harus berupa dialog nyata, bukan sekadar eksperimen pemikiran hipotetis. Konsep inilah yang dikenal sebagai public sphere dalam paradigma tindakan komunikatif Habermas.
Frasa “eksperimen hipotetis” ini relevan ketika mengingat pernyataan Luhut Binsar Panjaitan di tahun 2022, yang menyebut adanya 110 juta suara rakyat yang menghendaki penundaan Pemilu 2024. Detik.com memberitakannya dengan judul “110 Juta Netizen Diklaim Luhut Setuju Pemilu 2024 Ditunda, Anda Termasuk?”. Luhut menyebut bahwa klaim tersebut didasarkan pada big data yang dimilikinya, yang mengindikasikan kehendak 110 juta netizen untuk menjaga kondisi sosial-politik tetap tenang tanpa kegaduhan Pemilu.
Pengumpulan suara rakyat dalam jumlah besar dengan akurasi tinggi memang dimungkinkan melalui pemanfaatan teknologi. SuperAGI, sebuah perusahaan teknologi yang bergerak di bidang pengembangan software dan platform berbasis Agentic AI, dalam artikelnya “AI vs Human Insight: Comparing the Best Sentiment Analysis Tools for Accurate Brand Monitoring in 2025” mendukung kemungkinan ini. Menurut mereka, analisis sentimen berbasis AI telah mencapai akurasi 85% dengan menggunakan jaringan saraf tiruan, mengungguli metode tradisional yang selama ini digunakan.
Bisnis yang menggunakan analisis sentimen AI pun semakin percaya pada perangkat ini, karena ROI-nya meningkat sebesar 20% dalam penyelenggaraan pemasaran tertarget. Semua ini diperoleh dengan mengekstraksi umpan balik pelanggan dan wawasannya dapat ditindaklanjuti.
Kembali pada pernyataan Luhut di atas — dengan akurasi yang dinyatakan SuperAGI — setidaknya tak kurang dari 93,5 juta suara dari 110 juta suara yang dikumpulkan akurat: menghendaki penundaan Pemilu. Kehendak sebanyak itu patut ditinjau serius, karena bisa merupakan produk hukum yang terlegitimasi atas produk hukum lainnya. Tampaknya perangkat berbasis AI dapat diandalkan.
Namun, pernyataan di atas disebut eksperimen hipotetis ketika tak disertai penjelasan yang memadai. Pada konteks apa data dikumpulkan? Dengan struktur perintah apa data diolah? Dan bagaimana analisanya disusun? Karena itu, ketika ada yang mencemoohnya sebagai “mengada-ada”, tak salah juga. Karena seluruh prosedur yang mengatasnamakan rakyat banyak harus menghendaki transparansi. Tak cukup hanya disebut berdasar analisis teknologis saja. Tanpa itu semua, cemoohnya makin meluas: dianggap pernyataan mengelabui, demi menghemat waktu. Teknologi tampak didudukkan hanya sebagai siasat, melawan rezim waktu.
Dalam kecenderungannya, upaya mereduksi waktu — namun tetap memperoleh keutuhan suara rakyat — jadi praktik yang kerap dijalankan. Ditempuh dengan memanfaatkan teknologi, termasuk yang berbasis AI. Naveen Joshi, 2025, dalam “AI Can Finally Make Public Feedback Actionable-If Governments Let It”, menyebut keuntungan paling signifikan yang diberikan AI dalam pemrosesan umpan balik masyarakat adalah analisis sentimen.
Aplikasi berbasis AI dapat mendeteksi ribuan keluhan masyarakat, diskusi media sosial, catatan layanan pelanggan, dan terbacanya suasana hati masyarakat secara keseluruhan, termasuk frustrasi dan kepuasannya. Analisis perangkat berbasis AI — yang melampaui kemampuan analisis manusia — mampu mendeteksi pola, isyarat emosional, bahkan perbedaan sentimen antar wilayah regional. Seluruhnya ini memberikan gambaran bagi pelaksana pemerintahan tentang opini masyarakat secara real-time.
Tentu pertanyaan berikutnya — dari perkembangan yang telah dicapai itu — dapatkah AI diharapkan memperbaiki praktik demokrasi? Ini terutama ketika janjinya dapat mendengar suara rakyat lebih baik.
James Barrat, 2025, dalam bukunya “The Intelligence Explosion: When AI Beats Humans at Everything”, menguraikan bahwa kecerdasan AI dalam perjalanannya yang makin cepat berkembang jauh melampaui kecerdasan manusia. Karenanya, jika hanya diharapkan untuk memperbaiki praktik demokrasi, tentu bukan perkara yang rumit. Teknologi di antara tujuan pengembangannya memang untuk memperbaiki segala keadaan.
Namun apakah selinier itu: ketika perkembangannya makin mencapai keadaan ideal yang tak terbayangkan, kelemahannya pun serta-merta tereliminasi? Dalam realitasnya tidak. AI menyimpan persoalan besar yang belum terpecahkan. Ini terangkum sebagai gejala yang lazim disebut AI Black Box.
Saya pernah menulis “Urgensi Aturan Perlindungan Terhadap Bahaya Artificial Intelligence”. Di situ saya menyebut gejala AI Black Box sebagai adanya permasalahan yang menjangkiti AI, namun tak sepenuhnya telah dipahami — bahkan dipecahkan — oleh perancangnya sendiri. Cacat kecerdasan yang diproduksi AI masih sering merupakan misteri.
Saat misteri AI black box tersingkap, kategorisasi persoalannya dapat berupa: pertama, keadaan bias pengetahuan akibat bias algoritma. Realitas pengguna teknologi berbasis AI terutama laki-laki dari negara Barat dan berkelas ekonomi menengah ke atas. Ini menyebabkan data yang ditinggalkannya merupakan representasi dari kelompok dominan ini. Karenanya, pengetahuan — yang dapat diwujudkan sebagai kehendak rakyat — juga timpang, terbawa oleh bias itu.
Kedua, pengetahuan AI luas namun bersifat post factum. Karenanya, kecerdasan yang dihasilkan hanya sebatas data yang diinput pada machine learning (ML). Dalam kebutuhan produk kecerdasan yang bersumber data real time, AI tak mampu memenuhinya. Ketiga, dalam realitasnya perangkat teknologi berbasis AI tak pernah menampik apa pun prompt maupun input sensorial yang ditangkapnya. Sementara belum seluruh data — untuk memenuhi permintaan penggunanya — telah diinput pada ML.
Artinya, jawaban yang diberikan AI dapat diberikan tanpa dasar data yang telah diinput ke dalam sistemnya. Ini merupakan jawaban yang memaksakan diri, dan dikenal sebagai AI hallucination. Dan keempat, terjadi fenomena ‘kolam keruh’. Ini lantaran — dengan mengibaratkan AI sebagai kolam — kecerdasan yang diambil dari dalamnya dikembalikan lagi ke dalamnya. Seorang peneliti yang mencari wawasan menggunakan aplikasi digital berbasis AI, setelah wawasannya diolah sebagai hasil penelitian, dikembalikan lagi dengan mengunggahnya ke platform digital.
Pada giliran berikutnya, unggahan itu akan dimanfaatkan peneliti lain dengan siklus yang serupa. Artinya, makin sedikit data baru yang diinput sebagai pembentuk pengetahuan. Kolam AI makin keruh oleh daur ulang dari pengetahuan sebelumnya.
Ketika empat kategori AI black box di atas terjadi pada aplikasi yang diandalkan untuk mendengar suara rakyat — dalam praktik demokrasi di Indonesia misalnya — implikasinya dapat dibayangkan: suara yang terdengar — pemilu harus ditunda — adalah suara laki-laki dari kelompok ekonomi menengah ke atas. Demikian pula — dengan dipicu oleh pendapat politik tertentu — misalnya: pemilu adalah kegiatan yang memboroskan anggaran negara. Kemudian timbul pertanyaan, perlukah pemilu ditunda?
Jawaban AI diberikan berdasar data yang telah tersedia di dalam sistem, bukan real time saat pemicunya baru terjadi. Dan bisa pula, terdorong oleh AI hallucination, jawaban yang diberikan bukan untuk pertanyaan yang dimaksud. Pada AI hallucination, sering jawabannya diberikan berdasar struktur pertanyaan yang mirip dengan yang diajukan. Ketika AI tidak memiliki data untuk pertanyaan: berapa tinggi Monas? Jawaban yang diberikan dapat berasal dari pertanyaan yang serupa. Maka munculnya jawaban “pemilu harus ditunda” tanpa tahu konteksnya, bisa merupakan jawaban halusinasi.
Meletakkan AI sebagai upaya memperbaiki praktik demokrasi tidak salah. Namun mempercayainya sebagai mesin yang sempurna — karenanya tak perlu lagi mendengar suara sejati rakyat — adalah kebodohan.
Selayaknya green washing machine — strategi menjual produk apapun dengan promosi pelestarian lingkungan — hasilnya: penyesatan konsumen. Menjalankan demokrasi dengan imbuhan AI — tanpa memedulikan kelemahannya — sama artinya mengantarkan demokrasi ke depan pintu kematiannya. Rakyat mendengar “suaranya” sendiri sebagai suara yang asing. Rakyat teralienasi.
Data Riset Terbaru:
Penelitian terbaru dari Stanford University Human-Centered AI Institute (2024) menunjukkan bahwa sistem AI yang digunakan untuk analisis sentimen politik memiliki tingkat bias gender sebesar 34% dan bias geografis sebesar 42%. Studi ini menganalisis 2,3 juta komentar media sosial di 15 negara demokrasi dan menemukan bahwa suara perempuan, kelompok marjinal, dan masyarakat pedesaan secara konsisten kurang terwakili dalam hasil analisis AI.
Analisis Unik dan Simplifikasi:
Dalam konteks Indonesia, penelitian Center for Digital Society (2024) menemukan bahwa algoritma media sosial cenderung memperkuat narasi dari kelompok urban berpendidikan tinggi, sementara suara dari 60 juta penduduk desa yang menggunakan internet jarang terdeteksi secara akurat oleh sistem AI.
Studi Kasus:
Pemilu Brasil 2022 menjadi contoh nyata bagaimana AI dapat dimanipulasi. Sebuah penelitian dari University of São Paulo (2023) mengungkap bahwa bot AI menyebarkan 15 juta konten hoaks dalam 3 bulan kampanye, yang kemudian dianggap sebagai “suara rakyat” oleh sistem analisis sentimen.
Infografis:
- 85%: Akurasi klaim analisis sentimen AI
- 66%: Tingkat bias gender dalam sistem AI politik
- 58%: Persentase data yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke atas
- 42%: Tingkat bias geografis dalam analisis AI
- 34%: Bias gender dalam sistem AI politik
- 70%: Proporsi suara yang berasal dari wilayah perkotaan
Dalam era teknologi yang serba cepat, kita harus tetap waspada terhadap godaan kemudahan yang ditawarkan AI. Demokrasi sejati membutuhkan usaha, ketelitian, dan komitmen untuk mendengar setiap suara, terutama yang sering kali tak terdengar. Jangan biarkan kemajuan teknologi menggantikan nilai-nilai dasar demokrasi. Mari jadikan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti kearifan manusia dalam menentukan masa depan bersama.
Baca juga Berita lainnya di News Page

Saya adalah jurnalis di thecuy.com yang fokus menghadirkan berita terkini, analisis mendalam, dan informasi terpercaya seputar perkembangan dunia finansial, bisnis, teknologi, dan isu-isu terkini yang relevan bagi pembaca Indonesia.
Sebagai jurnalis, saya berkomitmen untuk:
Menyajikan berita yang akurasi dan faktanya terverifikasi.
Menulis dengan bahasa yang mudah dipahami, namun tetap menjaga integritas jurnalistik.
Menghadirkan laporan mendalam yang memberi perspektif baru bagi pembaca.
Di thecuy.com, saya tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berupaya menganalisis tren agar pembaca dapat memahami konteks di balik setiap peristiwa.
📌 Bidang Liputan Utama:
Berita Terbaru & ekonomi, keuangan.
Perkembangan teknologi dan inovasi digital.
Tren bisnis dan investasi.
Misi saya adalah membantu pembaca mendapatkan informasi yang cepat, akurat, dan dapat dipercaya, sehingga mereka bisa membuat keputusan yang lebih cerdas dalam kehidupan sehari-hari maupun dunia usaha.
📞 Kontak
Untuk kerja sama media atau wawancara, silakan hubungi melalui halaman Kontak thecuy.com atau email langsung ke admin@thecuy.com.