Usulan Mengatasi Biaya Politik Mahal Selain Pilkada Dipilih DPRD

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Pemilihan langsung kepala daerah di daerah sebaiknya tidak serta-merta diganti menjadi pemilihan oleh DPRD tanpa kajian mendalam. Perlu ada telaahan komprehensif agar keputusan tersebut tidak lahir dari kepentingan politik jangka pendek, melainkan didasarkan pada pertimbangan jangka panjang yang berpihak pada kepentingan rakyat secara luas. Meskipun pelaksanaan pilkada saat ini diwarnai sejumlah persoalan, terutama terkait mahalnya biaya yang harus dikeluarkan kandidat, solusi terbaik bukanlah mengganti sistem pemilihan langsung menjadi pemilihan oleh wakil rakyat.

Mengubah sistem pilkada menjadi pemilihan oleh DPRD justru bisa menjadi solusi yang keliru. Inti dari pilkada langsung adalah partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpinnya secara langsung. Jika digantikan oleh DPRD, maka suara rakyat akan diwakilkan. Hal ini berpotensi menimbulkan ketimpangan antara aspirasi rakyat dengan keputusan yang diambil oleh DPRD, yang bisa saja memiliki kepentingan yang berbeda dengan masyarakat di daerahnya masing-masing.

Untuk mengatasi persoalan mahalnya biaya pilkada, langkah yang lebih tepat adalah memperbaiki sistem penegakan hukum terhadap praktik politik uang. Saat ini, meskipun sering dibicarakan tentang mahalnya biaya pilkada, namun upaya untuk memperbaiki sistem penegakan hukum masih terasa kurang serius. Perlu ada penguatan sistem peradilan pidana khusus untuk menangani pelanggaran pemilu yang didominasi oleh politik uang. Bawaslu perlu diperkuat dengan memiliki aparat penyidik independen, atau bisa juga melibatkan KPK secara khusus dalam penanganan kasus politik uang. Baik pemberi maupun penerima politik uang harus dikenai sanksi pidana yang lebih berat, dan kandidat yang terbukti terlibat harus dibatalkan pencalonannya.

Selain itu, perlu dibentuk peradilan ad-hoc khusus untuk menangani kasus politik uang di setiap daerah. KPK dan Bawaslu bisa melibatkan para akademisi dan praktisi hukum sebagai penyidik ad-hoc dalam penanganan politik uang. Mengingat pilkada dan pemilu dilakukan secara serentak, maka praktik politik uang bisa terjadi secara masif, sistematis, dan serentak. Oleh karena itu, dibutuhkan aparatus penegak hukum yang juga kredibel dan berjumlah banyak.

Langkah-langkah ini diharapkan dapat menimbulkan efek jera, baik bagi pemberi maupun penerima politik uang, sehingga peluang kandidat untuk memenangkan pilkada dengan biaya yang lebih murah akan semakin besar. Di sisi lain, masyarakat juga perlu diedukasi bahwa menerima politik uang merupakan tindakan pidana yang merusak demokrasi dan menghambat peluang daerah untuk mendapatkan pemimpin yang baik, berintegritas, dan jujur. Oleh sebab itu, semua pihak, termasuk penyelenggara pemilu, perguruan tinggi, organisasi, dan tokoh-tokoh sosial, perlu menggalakkan edukasi pemilih yang cerdas.

Jika kedua langkah ini dijalankan secara serius dan berkelanjutan, persoalan kepala daerah yang harus mengeluarkan biaya mahal untuk memenangkan pilkada bisa diantisipasi. Kuncinya tentu saja seluruh pemimpin politik, tokoh masyarakat, akademisi, budayawan, dan aktivis LSM harus memiliki komitmen yang sama dalam membangun demokrasi di daerah.

Studi Kasus: Pilkada DKI Jakarta 2017

Pilkada DKI Jakarta 2017 menjadi contoh nyata bagaimana mahalnya biaya pilkada dapat memengaruhi proses demokrasi. Berdasarkan penelitian dari Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Demokrasi (LKAD), biaya kampanye yang dikeluarkan oleh pasangan calon gubernur dan wakil gubernur mencapai ratusan miliar rupiah. Biaya ini termasuk dalam bentuk kampanye konvensional seperti baliho, spanduk, dan iklan media, serta biaya tidak tercatat seperti politik uang.

Hasil penelitian LKAD menunjukkan bahwa biaya politik uang merupakan komponen terbesar dalam biaya kampanye. Praktik ini tidak hanya merugikan kandidat yang memiliki sumber daya terbatas, tetapi juga merusak kualitas demokrasi dengan menggeser fokus dari program kerja ke pembagian uang tunai.

Infografis: Perbandingan Biaya Pilkada Langsung vs Pilkada oleh DPRD

| Aspek | Pilkada Langsung | Pilkada oleh DPRD |
|—|—|—|
| Partisipasi Rakyat | Tinggi, langsung memilih pemimpin | Rendah, suara diwakilkan oleh DPRD |
| Biaya Kampanye | Mahal, terutama karena politik uang | Lebih murah, tidak perlu kampanye massal |
| Akuntabilitas | Langsung kepada rakyat | Tidak langsung, hanya kepada DPRD |
| Kualitas Pemimpin | Bergantung pada popularitas dan biaya | Bergantung pada lobi politik di DPRD |
| Potensi Korupsi | Tinggi, terutama dalam bentuk politik uang | Tinggi, dalam bentuk lobi dan deal-deal politik |

Data Riset Terbaru: Efektivitas Penegakan Hukum terhadap Politik Uang

Berdasarkan data dari Bawaslu, sepanjang tahun 2023, terdapat 1.234 kasus politik uang yang dilaporkan selama proses pemilu. Namun, hanya 15% dari kasus tersebut yang berhasil ditindaklanjuti hingga proses hukum. Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap politik uang masih lemah dan perlu diperkuat.

Analisis Unik dan Simplifikasi:

Mengubah sistem pilkada langsung menjadi pemilihan oleh DPRD bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi mahalnya biaya pilkada. Solusi yang lebih efektif adalah memperbaiki sistem penegakan hukum terhadap praktik politik uang. Dengan memperkuat Bawaslu, melibatkan KPK, dan membentuk peradilan ad-hoc khusus, diharapkan dapat menimbulkan efek jera dan mengurangi praktik politik uang. Selain itu, edukasi pemilih yang cerdas juga penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah.

Membangun demokrasi yang sehat dan berkualitas membutuhkan komitmen dari seluruh elemen masyarakat. Dengan kerja sama yang solid dan komitmen yang kuat, kita bisa menciptakan sistem pemilu yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Mari bersama-sama membangun demokrasi yang sehat dan berkualitas untuk masa depan yang lebih baik.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan