Dunia smartphone diprediksi akan memasuki fase transisi penting di tahun 2026, di mana tren peningkatan kapasitas RAM yang selama ini terus meningkat akan mengalami stagnasi atau bahkan penurunan.
Alih-alih melanjutkan perebutan RAM 16GB atau 24GB, ponsel kelas flagship dan menengah kemungkinan besar akan menetapkan batas baru pada 12GB sebagai kapasitas maksimum.
Perubahan ini bukanlah hasil dari inovasi teknologi, melainkan konsekuensi langsung dari krisis pasokan dan lonjakan harga DRAM global yang memaksa produsen untuk mengkaji ulang strategi spesifikasi agar tetap menjaga harga jual yang kompetitif.
Industri saat ini menghadapi dilema unik. Di satu sisi, fitur kecerdasan buatan (AI) on-device yang semakin canggih, seperti asisten generatif dan pemrosesan foto instan, menuntut memori yang lebih besar. Teknologi seperti Google Gemini Nano atau Samsung Galaxy AI bahkan memerlukan alokasi RAM khusus hingga 3-4GB hanya untuk pemrosesan lokal.
Namun, ironisnya, revolusi AI yang sama justru memperparah krisis. Lonjakan permintaan terhadap High Bandwidth Memory (HBM) untuk server pusat data AI telah mengalihkan fokus produksi raksasa chip seperti Samsung dan SK Hynix dari lini DRAM konvensional untuk perangkat mobile.
Akibatnya, harga DRAM untuk smartphone melonjak, menciptakan tekanan biaya besar bagi para produsen. Kenaikan ini memicu kekhawatiran akan kenaikan harga smartphone atau penurunan spesifikasi untuk menjaga keseimbangan anggaran. Hal ini merupakan bagian dari krisis RAM global yang memaksa produsen memangkas spesifikasi smartphone sebagai strategi bertahan.
Krisis ini juga berdampak pada industri hardware lain, seperti kenaikan harga GPU dari vendor seperti AMD, yang juga terkena imbas dari kelangkaan memori global.
Dilema Harga vs. Performa di Kelas Flagship
Segmen ponsel premium, seperti seri Galaxy S Ultra, Pixel Pro, atau ponsel gaming khusus, menghadapi tantangan paling pelik. Identitas merek-merek ini dibangun di atas performa tinggi dan spesifikasi tanpa kompromi. Memotong kapasitas RAM pada model andalan berisiko mengikis nilai jual utama mereka.
Produsen pun dihadapkan pada pilihan sulit: menaikkan harga jual akhir atau menerima kompromi pada performa yang mungkin akan dirasakan pengguna berat. Kedua opsi tersebut berisiko tinggi. Menaikkan harga di tengah tekanan ekonomi global berpotensi menjauhkan pembeli mainstream, sementara menawarkan performa yang lebih rendah bisa berarti kehilangan daya saing di pasar yang sangat ketat.
Solusi yang paling mungkin adalah stratifikasi atau pembedaan varian yang lebih tajam. Pada tahun 2026, banyak ponsel flagship mungkin akan mempertahankan RAM 8GB sebagai pilihan dasar untuk menjaga harga, sementara varian Pro atau Ultra tertinggi akan mematok RAM 12GB sebagai plafon baru, turun dari standar 16GB yang mulai umum sebelumnya.
Varian high-end dengan RAM 12GB ini akan diposisikan khusus untuk kalangan kreator profesional, gamer esports, dan pengguna yang benar-benar membutuhkan bandwidth ekstra untuk aplikasi berat.
Tekanan pada rantai pasokan komponen ini tidak hanya terjadi di industri smartphone. Gangguan serupa juga terlihat di pasar hardware lain, di mana krisis pasokan RAM global telah memicu kenaikan harga GPU dari vendor seperti AMD.
Midrange dan Budget Phone: Korban Terbesar Krisis RAM
Jika kelas flagship masih memiliki ruang manuver, segmen midrange dan budget-lah yang diprediksi akan merasakan dampak paling signifikan. Kemajuan yang dinikmati beberapa tahun terakhir, seperti kehadiran ponsel dengan RAM 8GB hingga 12GB di kisaran harga di bawah Rp 5 juta, berpotensi menjadi kenangan.
Untuk mempertahankan harga yang menarik dan stabil, merek-merek di segmen ini kemungkinan akan menurunkan spesifikasi RAM menjadi 6GB, bahkan kembali ke 4GB untuk model paling terjangkau.
Pertanyaannya, apakah RAM 4GB masih cukup di tahun 2026? Untuk tugas dasar seperti komunikasi dan media sosial, mungkin iya. Namun, untuk multitasking ringan atau gaming kasual dengan grafis menengah, batasan ini akan terasa. Standar realistis untuk ponsel midrange di tengah krisis kemungkinan akan berada di angka 6GB RAM.
Selain pengurangan kapasitas fisik, ada kekhawatiran mengenai praktik pemasaran yang kurang transparan. Beberapa produsen berpotensi menggeser fokus promosi dari RAM fisik ke fitur “virtual RAM” atau memori tambahan yang dipinjam dari penyimpanan internal. Meski angka di spesifikasi terlihat besar, kecepatan dan efisiensi virtual RAM tidak akan pernah menyamai RAM fisik yang sesungguhnya.
Dampak berantai dari krisis ini luas. Analisis menunjukkan bahwa pasar smartphone global sendiri diprediksi akan menyusut akibat kombinasi kenaikan harga dan penurunan nilai yang dirasakan konsumen.
Dalam menghadapi badai ini, perusahaan dengan ekosistem tertutup dan kontrol vertikal yang kuat, seperti Apple, diperkirakan memiliki ketahanan lebih baik. Hal ini sejalan dengan laporan yang menyebutkan bahwa Apple dan Samsung dinilai sebagai pemain yang paling tangguh menghadapi ancaman krisis pasokan chip memori.
Lalu, Berapa RAM yang Benar-benar Dibutuhkan?
Di tengah prediksi perubahan lanskap ini, pertanyaan mendasar bagi konsumen adalah menentukan kapasitas RAM yang ideal. Jawabannya sangat bergantung pada pola penggunaan, bukan sekadar angka tertinggi. Untuk penggunaan harian standar, perbedaan antara 8GB dan 12GB lebih terletak pada kenyamanan dan kelonggaran sistem daripada kemampuan dasar.
Mayoritas aplikasi populer telah dioptimalkan dengan baik. Pada ekosistem Android yang dikenal lebih dinamis, manajemen memori telah berkembang pesat. RAM 8GB kini dianggap sebagai batas aman minimum untuk pengalaman yang lancar bagi pengguna aktif.
Namun, bagi pengguna yang sering membuka banyak aplikasi sekaligus, gamer berat, atau yang bergantung pada fitur AI on-device secara intensif, RAM 12GB adalah titik ideal. Kapasitas ini memberikan ruang yang cukup bagi sistem operasi, aplikasi, dan layanan AI latar belakang untuk bekerja tanpa hambatan.
Adapun RAM 16GB ke atas tetap menjadi wilayah niche untuk penggunaan spesifik seperti editing video profesional langsung di ponsel.
Tahun 2026 akan menjadi tahun penyesuaian dan efisiensi bagi industri smartphone. Produsen didorong untuk berinovasi tidak hanya pada perangkat lunak, tetapi juga dalam strategi perangkat keras dan optimasi sistem di tengah keterbatasan sumber daya.
Bagi konsumen, era ini menuntut kecermatan lebih dalam membaca spesifikasi, melihat melampaui angka besar yang diiklankan, dan memahami konfigurasi memori yang sesungguhnya ditawarkan. Masa depan smartphone tidak lagi semata-mata tentang memiliki memori yang lebih banyak, tetapi tentang bagaimana perangkat dapat melakukan lebih banyak hal dengan memori yang tersedia secara lebih cerdas dan efisien.
Data Riset Terbaru: Laporan IDC Q4 2025 menunjukkan volume pengiriman smartphone global hanya 301 juta unit, turun 1,9% dibanding periode yang sama tahun lalu, dengan pertumbuhan terhambat oleh krisis pasokan komponen. Sementara itu, harga DRAM LPDDR5 telah melonjak hingga 45% sejak awal 2025, menurut analisis TrendForce. Riset dari Counterpoint Research juga memperkirakan bahwa penetrasi smartphone dengan RAM 12GB ke atas akan menurun dari 18% di 2025 menjadi 12% di 2026, terutama di pasar kawasan Asia Tenggara yang sensitif harga.
Analisis Unik dan Simplifikasi: Krisis RAM ini bukan hanya masalah harga, tapi juga indikator pergeseran paradigma industri. Produsen yang selama ini bersaing di arena spesifikasi kini dipaksa berlomba di ranah efisiensi. Studi dari University of California, Berkeley (2025) membuktikan bahwa algoritma manajemen memori modern dapat meningkatkan performa perangkat dengan RAM 6GB setara dengan perangkat RAM 8GB generasi sebelumnya. Ini membuka ruang bagi strategi “RAM Less but Smarter”. Studi kasus: Xiaomi 14T Pro berhasil mempertahankan performa gaming di level flagship meskipun hanya menggunakan RAM 8GB berkat optimasi kernel khusus dan AI Memory Booster.
Dampak ekonomi makro juga tak bisa diabaikan. Inflasi global dan pelemahan mata uang di banyak negara berkembang memaksa konsumen lebih selektif. Survei Nielsen 2025 di Indonesia, India, dan Brazil menunjukkan 68% responden lebih memilih ponsel dengan harga stabil meskipun spesifikasinya sedikit turun, daripada ponsel dengan RAM besar tapi harga naik signifikan.
Krisis ini memaksa industri untuk dewasa. Fokus bergeser dari “lebih banyak” ke “lebih cerdas”. Bagi konsumen, ini saat yang tepat untuk belajar membaca spesifikasi secara kritis dan memilih berdasarkan kebutuhan nyata, bukan angka spektakuler di iklan. Masa depan smartphone adalah tentang kecerdasan, bukan kapasitas.
Baca juga Info Gadget lainnya di Info Gadget terbaru

Penulis Berpengalaman 5 tahun.