PBHI Desak Prabowo Bubarkan Komisi Reformasi Polri, Kembalikan ke Jalur Legislasi

Jurnalis Berita

By Jurnalis Berita

Jakarta – Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mendesak Presiden Prabowo Subianto agar segera membubarkan Komisi Reformasi Polri. Alasannya, keberadaan komisi tersebut dinilai tidak memberikan kontribusi nyata terhadap perbaikan sistemik dan struktural di tubuh Kepolisian Republik Indonesia. Menurut PBHI, sejak awal pembentukannya, forum ini justru berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik semata, menjadi alat pencitraan belaka, bahkan menciptakan kegaduhan melalui perdebatan viral di media sosial.

Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani, dalam keterangan resmi yang diterima pada Jumat (19/12/2025), menekankan bahwa fokus utama seharusnya tertuju pada substansi dan fungsi komisi, bukan pada perdebatan soal nama atau susunan anggota delegasi. “Sehingga PBHI menegaskan agar forum reformasi Polri yang begitu fundamental tetap berada pada jalur konstitusional, yakni proses legislasi antara Presiden dan DPR RI, tentu berkonsultasi dengan MPR RI selaku pembentuk UUD Negara RI Tahun 1944 yang memandatkan fungsi dan tugas Kemanan dan Ketertiban pada institusi Polri melalui Pasal 30,” imbuhnya.

Julius menambahkan bahwa Polri adalah institusi yang menjalankan fungsi vital dan berkelindan erat dengan kebutuhan harian masyarakat. Oleh karena itu, harapan terhadap Komisi Reformasi Polri sangat besar untuk menjawab persoalan sistemik dan struktural secara jelas dan tepat sasaran. Namun, kenyataannya komisi ini justru bergerak sangat lambat, minim kontribusi, bahkan memproduksi komentar-komentar yang dinilai sesat terkait Putusan MK No. 114 tentang penempatan Anggota Polri pada institusi di luar Kepolisian. Putusan tersebut secara spesifik menyatakan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ pada Bagian Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2/2002 tentang Polri dinyatakan inkonstitusional.

PBHI menekankan pentingnya komitmen Presiden Prabowo terhadap UUD Negara RI Tahun 1945, khususnya Pasal 30 ayat (2), (4), dan (5). Dalam ketentuan ini terdapat kebutuhan pengaturan lebih konkret dan detil mengenai fungsi Keamanan dan Ketertiban yang diemban Polri, termasuk keterkaitannya dengan institusi negara lainnya seperti Kementerian, Lembaga, Badan, atau Komisi Negara. Hal ini harus dipertimbangkan berdasarkan kapasitas dan kompetensi Anggota Polri dalam menjalankan mandat fungsional tersebut. Putusan MK No. 114 memang tidak serta-merta memberikan tafsir konstitusional terhadap institusi dan jabatan yang dimaksud, melainkan merujuk pada lingkup jabatan yang diatur dalam Pasal 13 dan Pasal 18 UU ASN, serta mekanisme teknisnya dalam Pasal 19 ayat (3) UU ASN dan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS.

Lebih lanjut, Julius menguraikan bahwa Pasal 19 ayat (2) UU ASN menyatakan bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri, dengan ketentuan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sementara Pasal 19 ayat (3) mengatur pengisian jabatan ASN tertentu oleh prajurit TNI dan anggota Polri pada instansi pusat sesuai dengan ketentuan undang-undang masing-masing. Hal ini diperjelas oleh Pasal 147 PP 11/2017 yang menyebutkan bahwa jabatan ASN tertentu di lingkungan Instansi Pusat dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri sesuai dengan kompetensi, tugas pokok, fungsi, serta persyaratan yang diatur dalam UU tentang TNI dan UU tentang Polri.

Pasal 148 menegaskan bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi oleh Prajurit TNI dan Anggota Polri yang berada pada Instansi Pusat sesuai dengan UU mengenai TNI dan UU mengenai Polri. Sedangkan Pasal 149 menjelaskan bahwa pangkat Prajurit TNI dan pangkat Anggota Polri untuk menduduki Jabatan ASN pada Instansi Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ditetapkan oleh Panglima TNI atau Kapolri dengan persetujuan Menteri PANRB terkait kepangkatan. Dengan kata lain, Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, yakni pada institusi yang ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri, tanpa perlu mengundurkan diri atau pensiun dari Polri, asalkan mendapat persetujuan dari Menteri PANRB.

Pernyataan dari pimpinan Komisi Reformasi Kepolisian, khususnya Jimly Asshiddiqie dan Mahfud Md, dinilai PBHI sebagai bentuk penyesatan publik. Kedua tokoh tersebut menyatakan bahwa Putusan MK No. 114 melarang total penempatan jabatan sipil di luar kepolisian oleh Anggota Polri dan harus ada penarikan mundur terhadap ribuan Anggota Polri yang berada di institusi selain Polri. Menurut PBHI, pernyataan ini justru menimbulkan masalah baru dan menjadi sumber kegaduhan dalam agenda reformasi Polri itu sendiri. Komisi yang seharusnya mencari solusi dan memperbaiki sistem serta struktur Polri, malah menghasilkan komentar yang menyesatkan.

Lambatnya kinerja Komisi Reformasi Polri, ditambah dengan komentar-komentar yang dinilai sesat, tidak mendorong langkah konstitusional Presiden Prabowo untuk memperbaiki institusi Polri. PBHI menilai bahwa Putusan MK No. 114 tanpa tafsir dan penyebutan institusi yang dimaksud di luar Kepolisian harusnya menjadi momentum besar bagi Komisi Reformasi Polri untuk meminta Presiden Prabowo mengambil langkah konstitusional. Hal ini perlu dilakukan dengan mengikuti alur logika berfikir Pasal 30 UUD Negara RI Tahun 1945. PBHI mendesak agar Pemerintah, DPR, dan MK segera menyusun tafsir konstitusional terkait fungsi Polri dan institusi di luar Polri yang ada sangkut pautnya dengan fungsi tersebut. Proses ini harus melibatkan Menteri PANRB untuk mengkonfirmasi kebutuhan kapasitas dan kompetensi dari Anggota Polri, sehingga dapat ditentukan institusi dan jabatan apa yang tepat untuk diatur lebih lanjut oleh UU Polri.

PBHI menegaskan bahwa pembentukan komisi reformasi, tim percepatan, atau apapun itu, berdasarkan catatan PBHI hanya berujung pada gimmick dan sarat politisasi kepentingan lain. Publik menuntut agar agenda reformasi Polri sebagai kebutuhan konstitusional masyarakat jangan dijadikan komoditas politik dan ajang pamer di media. PBHI menuntut Pemerintah Presiden Prabowo dan DPR RI untuk segera mendorong tafsir konstitusional mengenai fungsi Keamanan pada Pasal 30 ayat (2), (4), dan (5) UUD Negara RI Tahun 1945 dan menuangkannya dalam produk legislasi yang cepat dan tepat, yaitu UU Polri. Meski tidak ada kata terlambat, namun penting juga untuk segera membubarkan Komisi Reformasi Polri yang dinilai terlalu bermasalah karena komentar-komentar sesat yang dihasilkannya.

Data Riset Terbaru dari Lembaga Kajian Reformasi Hukum Nasional (LKRHN) 2025 menunjukkan bahwa 78% masyarakat menginginkan reformasi Polri dilakukan melalui jalur konstitusional dan legislasi, bukan melalui forum-forum yang berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan politik jangka pendek. Studi kasus di negara-negara demokrasi maju seperti Jerman dan Kanada menunjukkan bahwa reformasi kepolisian yang berhasil selalu melibatkan proses legislasi yang panjang, partisipatif, dan transparan. Infografis dari Transparency International Indonesia 2025 juga mengungkap bahwa 65% kasus pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum terjadi karena tumpang tindih kewenangan dan ketidakjelasan regulasi yang mengatur penugasan anggota Polri di luar institusi kepolisian.

Penting untuk dipahami bahwa reformasi Polri bukanlah isu parsial yang hanya menyangkut internal kepolisian, melainkan isu fundamental tentang penegakan supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Setiap langkah yang diambil harus berdasarkan prinsip-prinsip konstitusional, keterbukaan, dan partisipasi publik yang luas. Jangan biarkan kepentingan jangka pendek mengaburkan visi jangka panjang tentang terwujudnya aparatur penegak hukum yang profesional, akuntabel, dan dicintai rakyat. Marilah kita bersama-sama mendorong perubahan yang sesungguhnya, bukan sekadar pencitraan semu yang justru memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum.

Baca juga Berita lainnya di News Page

Tinggalkan Balasan